P
|
embuatan kompos ada berbagai cara, tetapi semua cara terse- but
mempunyai konsep dasar yang sama. Konsep dasar ini dapat juga disebut pembuatan
kompos secara umum sehingga cara pembuatan ini perlu diketahui agar dalam
memodifikasi cara pembuatan kompos tidak terjadi kesalahan.
Dalam pembuatan kompos, waktu yang diperlukan umumnya sekitar 3—4
bulan. Namun, waktu ini dapat dipercepat menjadi 4—6 minggu dengan diberinya
tambahan atau aktivator bagi bak- teri pengurai. Proses pengomposan yang hanya
memerlukan waktu singkat ini juga dijelaskan dalam bab ini menggunakan
aktivator Stardec dan Fix-Up Plus.
Dalam pembuatan kompos, hal pertama yang dilakukan yaitu
persiapan, baik bahan maupun tempatnya. Setelah semuanya siap, baru dilakukan
tahap-tahap pembuatannya.
Bahan-bahan organik yang akan dikomposkan dipotong atau dicacah
agar proses pengomposan berlangsung cepat. Selain itu, untuk mempercepat
pengomposan, diperlukan pula pupuk kandang. Karena bahan-bahan ini nantinya
ditumpuk maka perlu disiapkan tempatnya.
1. Persiapan
Bahan-bahan organik yang akan dikomposkan dipotong atau dicacah
agar proses pengomposan berlangsung cepat. Selain itu, untuk mempercepat
pengomposan, diperlukan pula pupuk kandang. Karena bahan-bahan ini nantinya
ditumpuk maka perlu disiapkan tempatnya.
Tempat yang sederhana di tanah (bahan
ditumpuk di atas tanah). Untuk menjaga agar tidak tergenang sewaktu hujan,
dibuat bedengan dengan ukuran sesuai kondisi lahan, misalnya panjang 3 m, lebar
1 m, dan tinggi 25—30 cm. Untuk menghindari curah hujan juga, dapat dibuat
naungan dengan atap dari genting, rumbia, atau bahan lainnya. Bila tidak
memakai naungan maka dapat digunakan plastik atau daun pisang untuk menutup
tumpukan bila hujan turun.
Pupuk kandang dapat dipergunakan
untuk mempercepat pengomposan bahan organik lainnya
|
.Selain hanya ditumpuk di atas tanah,
bahan-bahan organik dapat ditumpuk dalam bak penampung. Bak ini bisa beraneka
ragam modelnya tergantung kebutuhan dan dana yang ada. Apa pun mo- delnya, bak
penampungan harus mempunyai ventilasi yang baik sehingga udara dapat keluar
masuk dengan bebas. Aliran udara yang tidak lancar dapat menyebabkan
pengomposan berjalan dengan tidak sempurna. Salah satu model bak yang praktis
dan murah adalah seperti boks bayi dengan daya tampung sekitar 1m3. Bahan yang
dibutuhkan dalam pembuatan bak ini seperti papan, bambu, kawat ram, dan paku.
Dalam pembuatan bak yang terpenting adalah adanya ventilasi. Ventilasi tersebut
dapat dibuat dengan memasang kawat ram atau papan-papan yang dirangkai diberi
jarak.
Sebagaimana diketahui, bahan-bahan
kompos perlu dibalik. Untuk memudahkan pembalikan, sisi-sisi bak dicopot dan
dipasang kembali di sebelah timbunan. Ke dalam bak baru yang kosong tersebut
timbunan kompos dimasukkan sehingga bagian atas akan menjadi bagian bawah.
|
Ada enam langkah yang perlu ditempuh
dalam pembuatan kompos dengan tahapan ini pembuatan kompos lebih terjamin
keberhasilannya.
1) Penyusunan tumpukan Bahan kompos ditumpuk
di atas bilah-bilah bambu atau kayu. Se- lama 1—2 hari diper- ciki air sampai
lem- bap, tetapi tidak becek.
2) Pemantauan suhu dan kelembapan tumpukan
Dari hari ke-4 hingga ke-40, tumpukan dijaga agar suhunya 45—65° C
dan kelembapannya sekitar 50%. Secara sederhana, kelembapan dapat diukur dengan
cara memasukkan tongkat kayu ke dalam tumpukan kompos, lalu mengeluarkannya.
Bila tongkat kering,
berarti ke- lembapannya kurang sehing- ga perlu dibalik dan disiram. Bila
tongkat basah (lembap) berarti kelembapannya te- lah sesuai. Namun, bila
tongkat terlalu basah maka kelembapannya terlalu ting- gi sehingga perlu segera
dibalik. Cara mengukur lainnya dengan memegang bahan kompos. Kelembapan ideal
ditan- dai dengan bahan yang basah, tetapi tidak ada air yang menetes. Adapun
suhu diukur dengan cara memasukkan tanagan ke dalam tumpukan kompos. Suhu
45—65° C ditandai dengan rasa hangat.
3) Pembalikan dan penyiraman
Pembalikan tumpukan dilakukan jika terjadi salah satu atau
beberapa keadaan berikut. Suhu tumpukan di atas 65° C atau di bawah 45° C,
tumpukan terlalu basah atau terlalu kering. Apabila suhu masih 45—60° C dan
kelembapan 50%, tumpukan kompos belum waktunya dibalik.
|
4)
Pematangan
Hari ke-45, biasanya tumpukan telah mema- suki masa pematangan.
Kompos yang matang ditandai dengan suhu tumpukan yang menu- run mendekati suhu
ruang, tidak berbau bu- suk, bentuk fisik me- nyerupai tanah dan berwarna
kehitam-hitaman. Pematangan ini bisa berlangsung selama 14 hari. Selama itu
tetap dilakukan pemantauan suhu dan kelembapan tumpukan serta bila perlu
dilakukan pembalikan.
5)
Pengayakan kompos
Tujuan dilakukan pengayakan yaitu agar memperoleh ukuran kompos
sesuasi yang dikehendaki, memilah bahan yang belum terkomposkan secara
sempurna, dan mengendalikan mutu kompos.
|
6) Pengemasan dan penyimpanan
Kompos yang sudah disaring, dikemas ke
dalam kantung atau karung. Setelah itu disimpan di tempat yang kering dan aman,
atau diletakkan di atas papan.
|
Bahan yang digunakan dalam pembuatan kompos ini yaitu ba han
organik sisa-sisa pertanian, misalnya jerami, tongkol batang jagung, rumput,
dan kotoran ternak yang telah dibasahi. Bahan organik tersebut (kecuali kotoran
ternak) dipotong-potong sehingga berukuran kecil.
Bahan-bahan tersebut (kecuali kotoran ternak) ditumpuk dengan
rumput di bagian atas. Tumpukan ini dibuat setebal 15 cm. Di atasnya, ditaruh
kotoran ternak yang telah dibasahi. Di atas tumpukan tersebut diberi tumpulan
lagi dengan susunan lapisan yang sama. Hal ini dilakukan terus hingga tumpukan
mencapai keting- gian 1,2 m. Kelembapan di dalam tumpukan bahan harus dijaga
agar tetap lembap, tetapi tidak becek.
Jika pengomposan berlangsung baik, hingga 3—4 minggu akan terjadi
kenaikan suhu. Setelah itu, suhu akan menurun. Itulah
saatnya kompos perlu dibalik. Untuk mengetahui apakah terjadi
kenaikan suhu, gunakan tongkat kayu yang kering dan halus. Tusuk- kan ke dalam
tumpukan kompos dan biarkan sekitar 10 menit. Lalu tarik tongkat tersebut. Jika
terasa lembap dan hangat, berarti proses pengomposan berjalan normal dan baik.
Jika tongkat itu kering, segera siramkan air ke dalam kompos. Jika tongkat
dingin, berarti pengomposan gagal, maka harus diulang kembali pembuatannya.
Setelah sebulan dari terjadi penurunan
suhu tersebut, kompos sudah siap dipakai.
Cara ini sejatinya mirip dengan pembuatan kompos praktis pertama,
tetapi ada penyesuaian dalam hal bahan kompos, tempat pengomposan, dan volume
kompos.
Bahan-bahan organik yang akan dikomposkan seperti jerami,
daun-daunan, sisa sayuran, sampah dapur, dan sampah kota. Seperti cara
pengomposan yang lain, bahan-bahan organik tersebut perlu dipotong-potong untuk
mempercepat proses pengomposan. Proses pembusukan juga bisa dipercepat dengan
penambahan pupuk, bisa pupuk kandang atau pupuk buatan.
Tempat pengomposan harus teduh, misalnya di bawah atap. Dasar atau
landasannya agak diperkeras, jika perlu digunakan ubin. Tempat pengomposan
semacam ini bisa berupa lubang atau di atas tanah. Adapun volume (panjang,
lebar, tinggi) timbunan kompos disesuaikan dengan tempatnya.
Cara pembuatan kompos dimulai dari menimbun bahan organik secara
bertahap. Tiap Tnari bahan ditimbun setinggi maksimal sekitar 30 cm. Di
atasnya, lalu ditaburi pupuk, kemudian diberi lapisan tanah dengan ketinggian
sekitar 3—5 cm, tetapi sebelumnya, timbunan bahan disiram dengan air hingga
cukup basah. Pada hari berikutnya, di atas tanah itu ditimbuni lagi dengan
bahan kompos, lalu tanah lagi. Demikian seterusnya hingga diperoleh timbunan
setinggi 1,2—1,5 m. Seluruh pekerjaan penimbunan tidak boleh lebih dari 10
hari. Penutupan tanah dilakukan tidak hanya di atas tumpukan bahan kompos,
tetapi juga di bagian samping. Hal ini dilakukan untuk menghindarkan kompos
dari kekeringan. Alterna- tif lain ialah menutup tumpukan bahan dengan lembaran
plastik.
Hal yang terpenting dalam pengomposan
adalah menjaga kelembapan. Caranya dengan mengaduk atau membalik sehingga
bagian luar masuk ke dalam dan sebaliknya. Pada umumnya, penga- dukan dilakukan
sekali seminggu. Agar kelembapan tidak terlalu tinggi, kompos harus terlindung
dari air hujan yang berlebihan.
Sekitar umur sebulan, kompos sudah matang. Tandanya, berwarna agak
cokelat kehitam-hitaman. Pengomposan yang terlalu panas akan menghasilkan
kompos yang berwarna hitam. Makin hitam, berarti pengomposan makin panas.
Proses pengomposan cara ini hanya perlu waktu tiga minggu. Bahan
yang digunakan yaitu kotoran hewan, sampah dapur, de- daunan, dan jerami.
Dengan campuran tersebut diharapkan kan- dungan nitrogennya cukup banyak. Jika
jumlah kotoran hewan dan sampah tidak mencukupi, dapat pula diberi tambahan
pupuk buatan yang mengandung nitrogen pada campuran bahan kompos tersebut.
Tujuannya yaitu mempercepat pengubahan kompos menjadi pupuk organik, membuat
tanaman lebih cepat mencerna pupuk buatan, dan mencegah nitrogen menguap atau
dihanyutkan hujan.
Cara pembuatan kompos di sini tidak
jauh berbeda dengan pembuatan kompos yang lain, yaitu setelah dipotong menjadi
ukur- an yang lebih kecil, bahan organik ditimbun dengan ketinggian maksimal
1,2—1,5 m. Bahan kompos tersebut perlu disiram dengan air secukupnya agar agak
lembap. Pekerjaan selanjutnya yakni pengadukan atau pembalikan untuk menjaga
kelembapan.
Sampah rumah tangga sangat ideal dijadikan kompos karena selain
dapat memanfaatkan komposnya, lingkungan pun terhindar dari pencemaran. Selain
sampah rumah tangga, cara ini dapat pula diterapkan untuk sampah dari pasar
yang sebagian besar berupa sampah organik. Untuk mengolah sampah rumah tangga,
diperlukan alat yang biasanya disebut komposter. Komposter ini pernah dite-
liti dan diupayakan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Pe- mukiman, di
bawah Balitbang Departemen Pekerjaan Umum, Bandung. Bahan-bahan untuk membuat
komposter yaitu
@ drum atau tong plastik yang
mempunyai tutup,
@ pipa pralon berdiameter 4 inci,
@ kasa plastik untuk menutup lubang pipa bagian
luar, dan
@ b'atu kerikil.
Adapun
cara pembuatannya sebagai berikut.
1)
Bagian atas tong plastik diberi 4
lubang diameter 4 inci untuk memasang pipa. Bagian bawah juga dilubangi dengan
diameter yang sama, sebanyak 4—5 lubang, lalu ditutup kasa plastik untuk jalan
air.
2)
Ujung pipa bagian luar ditutup kasa
plastik untuk sirkulasi udara.
3)
Pipa dilubangi dengan bor sebesar 5 mm
setiap jarak 5 cm. Tong juga dilubangi 5 mm dengan jarak 10 cm untuk udara.
4)
Pasang pipa pada empat sudut tong,
lalu tanam di tanah. Tem- patkan pada bagian yang tidak kena hujan secara
langsung.
5) Tepi tong ditutup batu kerikil setebal 15 cm. Demikian juga
sekeliling pipa ditutup kerikil, baru ditutup tanah. Tempat sampah biasanya
berbau karena sampah organik cepat membu- suk sehingga diperlukan kerikil untuk
meredam bau tersebut.
Tong tersebut diisi dengan sampah rumah tangga, tentunya sampah
organik, tetapi jangan diikutkan dengan kulit telur dan kulit kacang sebab
sukar menjadi kompos. Setelah penuh, tong ditutup dan dibiarkan selama 3—4
bulan. Selama itu akan terjadi proses pengomposan. Sampah yang sudah jadi
kompos berwarna hitam dan gembur seperti tanah. Ambil kompos itu dari
komposter, lalu diangin-anginkan sekitar seminggu. Nah, kompos itu sudah siap
di- pakai untuk pupuk tanaman.
Dalam komposter tersebut akan bermunculan belatung yang mungkin
bisa menimbulkan rasa jijik. Belatung muncul dari sampah- sampah organik yang
mengalami pembusukan. Kehadiran belatung itu justru dinantikan karena tugasnya
melahap sampah dapur. Supaya belatung tidak berkeliaran maka tutup tong harus
dijaga dalam keadaan rapat.
Dewasa ini, komposter sudah diproduksi dan tersedia di pasaran.
Alat ini dirancang demikian rupa sehingga bisa dipasang dengan mudah di halaman
rumah. Kapasitasnya 100 liter atau sekitar 200 kg sampah. Selama dalam proses,
sampah itu juga tidak mengeluarkan bau karena alat itu dilengkapi pipa-pipa
vertikal yang dipadati dengan kerikil di sekitarnya untuk mencegah keluarnya
gas yang terjadi selama proses pengomposan.
Penempatan komposter ini harus hati-hati, tidak boleh terlalu
dekat dengan sumur yang dangkal karena bisa tercemar. Alat ini juga tidak bisa
diterapkan pada daerah yang permukaan air tanah- nya tinggi dan pada
rumah-rumah yang tidak memiliki halaman sebab setiap komposter membutuhkan
lahan sekitar 1 m2. Namun, kelemahan ini bisa diatasi, misalnya dibuat secara
bersama atau komunal.
Mendengar kata tinja, yang terbayang adalah rasa jijik. Tapi jika
diolah secara baik, tinja bisa menjadi kompos yang bermutu. Pemanfaatan tinja
menjadi kompos ini sebenarnya sudah dikenal lama. Misalnya di India,
hotel-hotel secara cermat menampung kotoran manusia, kemudian dikirimkan ke
tempat pengolahan tinja untuk selanjutnya diolah menjadi pupuk. Proses serupa
juga dilakukan di Tiongkok dan Singapura. Di Indonesia juga sudah ada
pengolahan tinja. Misalnya di Magelang, Jawa Tengah, mulai sekitar akhir 1996,
tinja justru diandalkan bisa menjadi sebagian sumber pendapatan asli daerah
karena dapat dijual dalam bentuk kompos.
Pengomposan tinja dilakukan di Instalasi Pengolah Limbah Tinja
(IPTL) yang menempati lahan seluas 0,5 hektar. Sebenarnya, IPTL tersebut mampu
mengolah tinja 20,50 m3 tiap hari atau
setara dengan 560 kg kompos tiap hari. Namun, sekitar akhir 1996, dengan
jumlah penduduk Magelang sekitar 116.000 jiwa hanya dapat menghasilkan timbunan
tinja 13,98 m3 tiap hari karena tidak semua tinja bisa diolah.
Proses pengomposan tinja dilakukan lewat kolam-kolam oksi- dasi
sederhana. Kolam ini ditata berjajar untuk memudahkan pengolahan dan menekan
biaya operasi. Urutannya dimulai dari bak penampung atau penyaring berukuran 2x2x2 (m), kolam
anaerobik I dan II ukuran 30,8 x 7 x 3 (m), kolam fakultatif ukuran 23,6 x 7 x
3 (m), serta kolam maturisasi dan tempat pengering lumpur.
Kompos tinja pada dasarnya merupakan hasil proses fisik, biokimia,
dan bakteriologis sama seperti pengolahan kompos dari kotoran hewan yang sudah
lama dikenal. Secara sederhana, berikut ini proses pengomposannya.
1) Tinja dicampur dengan air, lalu dimasukkan ke bak penampung.
Kemudian dilakukan proses penyaringan untuk memastikan hanya cairan tinja dan
tinja murni yang bakal diproses. Sisa-sisa sampah yang lain, dibuang. Pada
tahap ini, baunya memang menyengat, tetapi cuma sehari.
2)
Cairan dan tinja terpilih lalu
dimasukkan ke kolam anaerob yang kedap air. Tahap ini merupakan proses
perombakan bahan organik oleh bakteri anaerobik. Pada tahap ini, terjadi
penurunan tingkat pencemaran tinja yang dapat dilihat dari turun- nya BOD (biological oxygen demand)
dari 2.800 mg/1 menjadi 700 mg/1. Proses ini memakan waktu 18 hari.
3)
Upaya penurunan BOD berlanjut di kolam
anaerobik II. Dalam waktu 11 hari, BOD larutan tinja itu turun menjadi 175
mg/1.
4)
Proses selanjutnya dilakukan di kolam
fakultatif. Pada tahap ini, larutan tinja itu sudah cukup "bersih"
dan "segar". Dalam kondisi ini memungkinkan tumbuhnya ganggang hijau
yang mengha- silkan oksigen. Dengan demikian, kondisi air limbah itu makin
membaik dengan BOD 43 mg/1.
5)
Tahap selanjutnya adalah mematangkan
tinja di kolam maturi- sasi. Proses ini memakan waktu 10 hari. Dilakukan
penambahan kapur sebagai upaya menetralkan cairan yang sudah berbentuk bubur
tinja. Pada tahap ini, proses anaerobik masih berlang- sung. Saat itu juga
terjadi pemusnahan mikroorganisme patogen yang biasa bercokol di air kotor
dengan BOD tinggi.
6)
Sisa-sisa bahan organik eks-tinja
diendapkan. Endapan tersebut dimasukkan ke kolam pengering dengan tinggi
endapan dijaga maksimal 25 cm. Limbah cair yang aman dapat dibuang ke sungai.
Setelah sekitar 150 hari, barulah kompos yang terbentuk siap dimanfaatkan untuk
menyuburkan berbagai tanaman.
Kompos BIPIK adalah kompos yang dihasilkan oleh Bimbingan dan
Pengembangan Industri Kecil (BIPIK). Bahan utama kompos ini adalah campuran
sampah kota, kotoran hewan, belerang, dan ragi kompos. Adapun peralatan yang
digunakan yaitu
@ 1 gilingan belerang
dengan kapasitas 60 kg tiap jam,
@ 3
ayakan ukuran 1 x 2 m'\
@ 1 buah tromel pencampur
dengan kapasitas 150 kg tiap jam,
@ 1
timbangan kapasitas 300 kg,
@ 4
kereta sorong atau alat angkut,
@ 1
roller beton garis tengah 0,6 m dan panjang 1,5 m, serta
@ peralatan lain-lain.
kETERANGAN:
1. Pembusukan sampah
2. Ayakan 3 tingkat
3. Pengeringan
4 Gudang bahan dan penolong
5. Gilingan belerang
6. Pencampuran tromel
7. Gudang produk
8. Kantor
9. Pengantongan dan penimbangan
Tata letak ruangan dalam pembuatan kompos BIPIK
Selain peralatan produksi, pembuatan
kompos ini juga merrierlukan lahan sekitar 10.000 m2. Lahan itu di antaranya dipergunakan untuk
ruang kantor 9 m2 , ruang pengolahan 39 m2, , gudang bahan baku dan bahan
pendukung 35 m2, , gudang produk 57 m2,
dan lantai pengeringan terbuka 375m2. . Adapun lahan sekitar 9.845 m2
diperlukan untuk tempat penimbunan sampah, pembusukan, lapangan terbuka, dan
jalan.
Pengolahan dari sampah hingga menjadi kompos
akan selalu melalui tahap-tahap persiapan, proses pembusukan, pengeringan,
pengayakan, pencampuran, dan pengepakan.
1)
Persiapan bahan baku
Bahan-bahan anorganik seperti logam, kaca, plastik, maupun baterai
dipisahkan dari bahan-bahan organik.
2)
Proses pembusukan
Sampah bahan organik ditumpuk berlapis-lapis di atas tanah dengan
ukuran 5 m x 2 m. Setiap lapis dengan tinggi 45 cm diberi kotoran hewan
setinggi 5 cm. Lapisan ini dibuat berlapis-lapis hingga tingginya mencapai 2 m.
Untuk mempercepat proses pembusukan, pada tiap lapisan ditaburkan ragi kompos.
Setelah 1 bulan, tumpukan sampah dibalik. Pembalikan ini diulang
lagi bila udara dalam tumpukan mulai berkurang. Demikian seterusnya sampai
proses pembusukan selesai dan sampah berubah menjadi pupuk kompos. Proses
pembusukan tersebut berlangsung selama 6 bulan ini.
3)
Pengeringan
Pupuk kompos yang sudah jadi dimasukkan dalam karung goni. Tiap
karung yang berisi sekitar 100 kg diangkut dengan kereta sorong ke lantai
pengeringan. Di lantai semen ini, kompos diserakkan agar memperoleh sinar
matahari sampai kadar airnya tinggal 10%. Pupuk yang sudah kering ini
selanjutnya digilas
|
dengan roller beton agar butiran-butiran kasar dalam kompos
menjadi tepung halus.
4)
Pengayakan
Kompos kering yang terbentuk belum semuanya menjadi tepung
sehingga perlu diayak. Dengan demikian akan diperoleh kompos dengan kehalusan
100 mesh.
5)
Pencampuran
Tepung kompos masih dicampur dengan belerang halus (keha- lusannya
100 mesh). Tiap 1 ton kompos dicampur dengan 10 kg belerang. Belerang ini akan
berfungsi menyehatkan ta- naman sebab di dalam tanah sebagian belerang diubah
menjadi senyawa yang dapat diserap oleh tanaman. Perubahan itu dilakukan oleh
mikroba-mikroba di dalam tanah.
|
6) Pengepakan
Tepung kompos yang telah dicampur tepung belerang dimasukkan
dalam karung goni dengan berat 10 kg, 25 kg, atau 50 kg. Kompos ini telah
memenuhi persyaratan karena berwarna hitam, mengandung unsur hara utama 2,3%,
mengandung C (karbon) organik 40,2%, dan pH-nya 7,2.
Stardec bukannya kompos, melainkan pemacu atau starter mikroba
pengompos sampah, khususnya kotoran ternak. Stardec ini diproduksi dari isolasi
mikroba rumen (lambung pencernaan perta- ma sapi), usus besar, dan tanah hutan
yang diperkaya dengan rhizo- sphere dalam serta akar rumput Graminae. Stardec
ini- dapat di- gunakan untuk mempercepat pengomposan. Proses pengomposan yang
biasa berlangsung 3—4 bulan dapat dipercepat menjadi 5 minggu.
Bahan utama dalam pembuatan kompos ini
biasanya berupa kotoran ternak. Adapun perbandingan bahan-bahan yang digunakan
yaitu kotoran ternak 100%; Stardec 0,25%; urea 0,25%; SP-36 0,25%; serbuk
gergaji 10%; abu 10%; dan kalsit 2%.
Setiap tahap sebaiknya dilakukan dalam bak tersendiri sehingga
bila ada 3 tahap, berarti diperlukan 3 bak. Bak ini dibatasi dengan tembok
setinggi + 50 cm dan bagian atas diberi atap atau naungan.
Ketiga tahap pengomposan tersebut masing-masing memer- lukan wakti
1 minggu untuk tahap I, 3 minggu untuk tahap II, dan 1 minggu untuk tahap III.
Dengan demikian, total waktu yang diperlukan untuk pengomposan sekitar 5
minggu. Adapun langkah- langkah tiap tahap sebagai berikut.
|
1)
Tahap I
Bahan kotoran ternak disiapkan dengan kelembapan sekitar 60%. Bila
terlalu becek atau kelembapannya lebih dari 60% maka kotoran ternak didiamkan
beberapa waktu hingga mencapai kelembapan yang diinginkan. Namun, bila kotoran
ternak terlalu kering maka perlu disiram air agar kelembapannya naik. Setelah
kelembapan mencapai 60%, kotoran ternak ditambah dengan serbuk gergaji,
Stardec, urea, dan SP-36, lalu dicampur hingga rata. Diam- kan bahan ini selama
1 minggu.
2)
Tahap II
Bahan di tahap I dibalik dengan cara dipindahkan ke bak yang lain.
Pada saat pembalikan ini, dilakukan juga penambahan abu dan kalsit. Proses yang
berlangsung sekitar 3 minggu ini perlu dijaga kelembapan dan suhunya dengan
cara pembalikan.
3)
Tahap III
Pada tahap yang terakhir ini, bahan kompos akan mengalami
penstabilan, yaitu suhu mulai turun ke suhu normal dan bahan sudah berbentuk
remah. Kondisi ini menandakan bahwa bahan kompos telah menjadi kompos sehingga
sudah dapat digunakan untuk pupuk. Apabila kompos yang dibuat dalam jumlah
banyak maka perlu dilakukan penyaringan dan pengemasan sehingga dapat disimpan.
Kompos (pupuk) cacing atau kascing merupakan pupuk yang berasal
dari kotoran cacing. Dari kotoran cacing alias vermics itulah, kita mengenal kata vermikasi.
Vermikasi merupakan proses penguraian sampah-sampah organik yang dilakukan oleh
cacing sehingga dihasilkan kotoran cacing (menjadi pupuk). Ternyata,
|
cacing (khususnya Lumbricus rubrelus) bisa
dimanfaatkan untuk mengatasi soal sampah.
Dengan vermikasi yang baik akan mampu mengurangi sekitar 50%
produk sampah setiap harinya. Prinsip vermikasi sama dengan pembuatan kompos,
hanya saja di sini proses pengomposan dibantu oleh cacing untuk mempercepat
penguraian. Pupuk atau kompos yang dihasilkan umumnya bagus kualitasnya, selain
murah dan mu- dah pembuatannya.
Sampah organik yang akan dikomposkan ditumpuk, lalu di atasnya
diberi lapisan pupuk kandang. Untuk menciptakan pH (keasaman) netral, tambahkan
kapur 1 : 100 bahan organik. Bahan- bahan tersebut disiram air agar lembap.
Setelah 4 hari, kompos diaduk rata. Selanjutnya, setiap 3 hari sekali dilakukan
pembalikan. Lima belas hari kemudian, kompos diangin-anginkan selama 6 hari. Dengan
demikian, bahan kompos sudah siap ditanami cacing.
Agar mudah diurai, bahan kompos dicacah dan dibasahi lebih dulu.
Setelah itu, diberi cacing. Benih cacing yang sehat berukuran 7—15 cm dan
diameter 4—6 mm. Dalam sehari (24 jam), cacing ini akan makan sebanyak berat
tubuhnya. Jadi, 1 kg cacing akan makan sampah seberat 1 kg sehari dengan hasil
400 g kotoran. Makin ba- nyak cacing, makin cepat proses pembuatan kascingnya.
Proses penguraian sampah dengan bantuan cacing tidak menim- bulkan
bau dan lalat. Setelah 16 hari, selain sampah menjadi kompos, juga dihasilkan
kascing alias kotoran cacing. Kascing ini mem- punyai nilai ekonomis yang lebih
tinggi dibanding kompos.
Kascing kini tersedia di pasaran dan harganya relatif murah.
Walaupun demikian, sampai saat belum banyak petani atau pengu- saha pertanian
yang menggunakan kascing, mereka masih memilih pupuk kimia. Padahal, pupuk
kimia memberikan dampak yang ku- rang menguntungkan juga, yaitu tanah menjadi
keras.
Sampah
yang kotor, menjijikkan, bau, serta menjadi habitat bagi lalat dan sumber
penyakit itu dapat diubah menjadi kompos dengan sedikit sentuhan teknologi
sederhana. Selain menjadi komoditas yang berguna, lingkungan yang semula kotor
pun berubah menjadi lebih nyaman.
Tahap pengomposan pada umumnya
dilakukan sebagai berikut.
1)
Sampah-sampah yang terkumpul disortir
antara sampah organik dan sampah anorganik. Sampah organik ditumpuk untuk
dikom- poskan, sedangkan sampah anorganik dikirim ke TPA.
2)
Sampah hijau organik yang terkumpul
ditumpuk di atas lantai yang dasarnya diberi terowongan udara untuk sirkulasi
udara.
3)
Setiap minggu, tumpukan sampah ini
dibalik untuk menjaga agar suhu tetap pada tingkat 55—60° C.
4)
Dalam waktu 6—8 minggu, tumpukan
sampah itu hancur dan tinggal diayak.
5)
Hasil ayakan inilah yang siap
digunakan untuk memupuk lahan pertanian atau dipasarkan.
Melihat situasi di Indonesia, maka proses pengomposan tersebut
cocok dilakukan dengan sistem open
windrow (sistem tumpukan terbuka). Sampah ditumpuk di tempat
terbuka, tetapi beratap. Untuk proyek desa atau usaha kecil, sistem open windrow bisa
menjadi salah satu cara mengurangi pengangguran. Di sebuah proyek kecil
pembuatan kompos semacam ini bisa menampung antara 8—10 orang tenaga kerja
dengan bekal latihan teknis sederhana. Dengan luasan lahan sekitar 850 m2 dapat
dihasilkan kompos 1,75 ton/hari.
Fix-Up Plus berupa pupuk cair yang merupakan senyawa organik
murni yang diolah lewat proses bioteknologi yang dikembangkan oleh Timothy
Soeharyo dari Semarang, Jawa Tengah. Dengan pupuk ini, proses terbentuknya
humus yang memakan waktu ratusan tahun dapat dipercepat dalam waktu 3—4 bulan
atau proses pengomposan dapat dipercepat sehingga hanya memerlukan waktu 2—3
minggu. Bahan pupuk ini dari limbah yang biasanya terbuang, sekitar 30 jenis,
misalnya tepung biji kapas, kulit udang, kepiting, rumen bandeng, kulit kayu
yang mengandung banyak ja- mur, dedaunan terutama daun petai cina, serta
kotoran hewan dan unggas (seperti burung walet yang kandungan P dan N-nya
sangat tinggi).
Pupuk organik cair ini bisa langsung digunakan di lahan pertanian
atau digunakan untuk mempercepat proses pengomposan. Apa- bila akan membuat
kompos dengan tambahan pupuk ini maka bahan yang dibutuhkan yaitu bahan organik
yang telah dipotong kecil-kecil, kotoran hewan (bila ada), kapur secukupnya
untuk menetralkan pH, tanah, dan pupuk cair Fix-Up Plus. Pupuk cair 1 liter
yang dilarut- kan dalam 500 liter air dapat digunakan untuk mempercepat
pengomposan bahan organik sebanyak 1 ton. Larutan pupuk cair diberikan sedikit
demi sedikit sehingga pencairannya secukupnya saja. Misalnya pencairan pertama
cukup 10 cc pupuk cair yang ditambah dengan air sebanyak 5 liter.
Cara pembuatan kompos sebagai berikut. Bahan organik dicampur
dengan kotoran hewan, kapur, dan tanah. Setelah tercam- pur, bahan kompos
ditimbun dengan tinggi maksimal 1 m. Bahan ini lalu disiram dengan pupuk cair
yang telah dilarutkan (konsen- trasinya seperti di atas) hingga kelembapannya
60% (bila digeng- gam basah, tetapi tidak ada air yang menetes). Untuk
menghindari matahari langsung dan air hujan, tumpukan bahan sebaiknya di bawah
naungan atau ditutup dengan plastik. Setiap 10 hari sekali, bahan dibalik agar
terjadi pertukaran udara di dalam bahan kompos. Apabila kelembapan berkurang
atau mulai kering, bahan disiram kembali dengan pupuk cair yang telah
dilarutkan dengan konsentrasi yang sama.
|
Sekitar 2—3 minggu, bahan kompos telah
menjadi kompos dengan ciri-ciri: bahan telah gembur, berwarna hitam, dan tidak
berbau busuk. Dengan kondisi seperti ini, bahan telah dapat digunakan untuk
menyuburkan tanah.
Pembuatan
pupuk kompos ini sebenarnya cukup sederhana. Komposisi kompos ini dapat hanya
terdiri dari kotoran sapi saja atau dicampur air kencing sapi, ditambah serbuk
gergaji, ampas tebu, dan sampah dedaunan.
Pembuatan kompos ini sebaiknya di tempat yang teduh atau ternaungi
agar bau yang ditimbulkan selama proses pengomposan tidak tersebar ke
mana-mana. Bahan-bahan kompos tersebut ditim- bun, lalu disiram dengan air agar
kelembapannya berkisar 50—60%. Dengan kelembapan tersebut proses pengomposan
akan berjalan dengan baik. Proses pengomposan akan berlangsung sekitar 2—3
bulan. Kompos yang telah jadi dicirikan dengan warna yang ke- hitaman,
bentuknya gembur (remah), dan tidak berbau.
Limbah padat yang berasal dari industri pulp dan kertas ter- nyata
memiliki potensi sebagai media tanaman jamur merang (Volvariella volvaceae) dan pupuk tanaman.
Penelitian dan uji coba- nya sudah dilakukan, misalnya di Balai Besar
Penelitian dan Pengem- bangan Industri Selulosa (BBS) di Bandung. Selain itu,
beberapa industri pulp dan kertas sudah melakukan usaha tersebut, misalnya di
Karawang, Bandung Selatan, dan Sukabumi. Pupuk organik yang dihasilkan
mengandung karbon organik 3,97%, nitrogen 16,5%, fosfor 3,75 %, kalium 2,99%,
dan unsur-unsur mikro lainnya.
Sebelum dijadikan pupuk tanaman, limbah padat industri pulp dan
kertas dijadikan media jamur merang lebih dahulu. Limbah padat tersebut
mula-mula dijadikan kompos dengan disimpan sela- ma dua minggu. Kemudian,
kompos tersebut disterilisasi selama 6—12 jam dengan suhu 70° C agar bebas dari
jamur pengganggu. Setelah itu, media ini baru dapat digunakan untuk penanaman
jamur. Setelah jamur dipanen, kompos yang sudah berkurang pro- duksinya bisa
dijadikan pupuk organik.
Penggalakan kembali ke bahan organik cukup gencar dikampaye- kan
para ahli. Di Lombok, misalnya, Dr. Ir. Parman, ahli Fitopato- logi,
menganjurkan penggunaan azolla (tanaman paku air) untuk menyuburkan tanah.
Azolla ini cukup ditebarkan di sawah irigasi dan setelah berkembang biak,
dibenamkan ke dalam tanah saat air dikeringkan. Di lahan kering, azolla digarap
di tempat lain dan dijadikan kompos terlebih dahulu, sebelum digunakan.
Pembuatan kompos azolla sebenarnya tidak berbeda dengan pembuatan
kompos yang lain. Tempat yang digunakan sebaiknya tidak tergenang air dan
ternaungi. Adapun bahannya, selain azolla sendiri, juga diberi tambahan kapur
atau abu (untuk menaikkan pH), pupuk kandang, dan tanah. Untuk mempercepat
pengom- posan, dapat pula ditambah urea atau ZA.
Cara pembuatan kompos azolla sebagai berikut. Azolla ditumpuk
dengan tinggi sekitar 1 m, kemudian di atasnya diberi kapur atau abu setebal 6
cm. Lalu, di atasnya dilapis dengan tanah dan pupuk kandang setebal 4 cm. Bila
memalai urea atau ZA, pupuk ini ditabur di atas tanah dan pupuk kandang.
Kelembapan bahan kompos ini perlu dijaga sekitar 60%. Apabila kelembapannya
kurang dari 60%, tumpukan azolla dapat disiram air hingga mencapai kelembapan
ideal. Pembalikan juga dilakukan setiap 7 hari agar proses pengomposan
berlangsung secara merata.
|
Sekitar 2—2,5 bulan, kompos azolla ini telah masak yang ditan- dai
dengan warna kehitaman dan tidak berbau. Dengan demikian, kompos ini telah
dapat digunakan.
Tujuan utama penggunaan azolla adalah memberdayakan pe- tani agar
lebih banyak menggunakan sumber daya lokal. Dengan demikian, ketergantungan
pada bahan buatan pabrik atau hasil impor bisa dikurangi dan yang terpenting
tak terjadi pencemaran akibat digunakannya bahan kimiawi. Tidak adanya
pencemaran memungkinkan petani untuk melakukan usaha tani terpadu, misalnya
mina padi.
Pemakaian pupuk azolla dan pupuk kandang ternyata dapat
meningkatkan hasil gabah kering panen (GKP). Tanaman padi yang dipupuk dengan
pupuk buatan sesuai rekomendasi dapat menghasil- kan 5,4 ton GKP, sedangkan
bila dipupuk 10 ton pupuk kandang dan 2 ton azolla, dapat dihasilkan 6,06 ton
GKP.
O. Kompos Limbah Pabrik
Gula
Pupuk limbah pabrik gula (PLPG) ini memanfaatkan bahan- bahan
limbah dalam proses produksi gula yang selama ini terbuang. Limbah itu berupa
abu ketel, blothong, bagas (ampas tebu), dan tetes. Kecuali limbah bagas yang
digunakan untuk pembakaran dan tetes yang dikonsumsi oleh industri lain (bahan
MSG, ethanol), pihak pabrik gula selalu kewalahan untuk memusnahkan limbah
lainnya. Biayanya untuk mengatasi limbah ini sekitar Rp 230 juta setahun.
Teknologi dan proses produksi PLPG amat sederhana, yang terpenting
adalah bahan terlindung dari terik matahari dan hujan. Limbah abu ketel,
blothong, bagas, dan daun tebu dicampur dengan kotoran ternak serta Stardec.
Jumlah limbah pabrik gula dan kotoran ternak sebaiknya sama, misalnya 50 kg limbah
pabrik gula dan 50 kg kotoran ternak. Adapun Stardec yang dibutuhkan sekitar
0,25% dari bahan kompos
Seperti pembuatan kompos yang lain, kelembapan bahan diu- sahakan
sekitar 60%. Agar proses pengomposan berjalan lancar dan merata, tumpukan bahan
dibalik seminggu sekali. Dengan demikian, dalam waktu 3 minggu, produk pupuk
kompos sudah siap digunakan.
Jadi, kegiatan memproduksi PLPG bisa memacu multiusaha di setiap
lingkungan pabrik gula. Salah satu multiusaha itu adalah peternakan sapi dengan
memanfaatkan pucuk-pucuk batang tebu dan daunnya yang selama ini dianggap
sebagai limbah untuk pakan ternak. Kotoran ternak dan limbah pabrik gula
lainnya dapat diolah menjadi kompos. Kompos tersebut dimanfaatkan untuk tanaman
tebu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar