Rabu, 16 Mei 2012

Cara Membuat Kompos



P
embuatan kompos ada berbagai cara, tetapi semua cara terse- but mempunyai konsep dasar yang sama. Konsep dasar ini dapat juga disebut pembuatan kompos secara umum sehingga cara pembuatan ini perlu diketahui agar dalam memodifikasi cara pembuatan kompos tidak terjadi kesalahan.
Dalam pembuatan kompos, waktu yang diperlukan umumnya sekitar 3—4 bulan. Namun, waktu ini dapat dipercepat menjadi 4—6 minggu dengan diberinya tambahan atau aktivator bagi bak- teri pengurai. Proses pengomposan yang hanya memerlukan waktu singkat ini juga dijelaskan dalam bab ini menggunakan aktivator Stardec dan Fix-Up Plus.
Dalam pembuatan kompos, hal pertama yang dilakukan yaitu persiapan, baik bahan maupun tempatnya. Setelah semuanya siap, baru dilakukan tahap-tahap pembuatannya.
Bahan-bahan organik yang akan dikomposkan dipotong atau dicacah agar proses pengomposan berlangsung cepat. Selain itu, untuk mempercepat pengomposan, diperlukan pula pupuk kandang. Karena bahan-bahan ini nantinya ditumpuk maka perlu disiapkan tempatnya.

1. Persiapan
Bahan-bahan organik yang akan dikomposkan dipotong atau dicacah agar proses pengomposan berlangsung cepat. Selain itu, untuk mempercepat pengomposan, diperlukan pula pupuk kandang. Karena bahan-bahan ini nantinya ditumpuk maka perlu disiapkan tempatnya.

Tempat yang sederhana di tanah (bahan ditumpuk di atas tanah). Untuk menjaga agar tidak tergenang sewaktu hujan, dibuat bedengan dengan ukuran sesuai kondisi lahan, misalnya panjang 3 m, lebar 1 m, dan tinggi 25—30 cm. Untuk menghindari curah hujan juga, dapat dibuat naungan dengan atap dari genting, rumbia, atau bahan lainnya. Bila tidak memakai naungan maka dapat digunakan plastik atau daun pisang untuk menutup tumpukan bila hujan turun.










Pupuk kandang dapat dipergunakan untuk mempercepat pengomposan bahan organik lainnya



















.Selain hanya ditumpuk di atas tanah, bahan-bahan organik dapat ditumpuk dalam bak penampung. Bak ini bisa beraneka ragam modelnya tergantung kebutuhan dan dana yang ada. Apa pun mo- delnya, bak penampungan harus mempunyai ventilasi yang baik sehingga udara dapat keluar masuk dengan bebas. Aliran udara yang tidak lancar dapat menyebabkan pengomposan berjalan dengan tidak sempurna. Salah satu model bak yang praktis dan murah adalah seperti boks bayi dengan  daya tampung sekitar 1m3. Bahan yang dibutuhkan dalam pembuatan bak ini seperti papan, bambu, kawat ram, dan paku. Dalam pembuatan bak yang terpenting adalah adanya ventilasi. Ventilasi tersebut dapat dibuat dengan memasang kawat ram atau papan-papan yang dirangkai diberi jarak.
Sebagaimana diketahui, bahan-bahan kompos perlu dibalik. Untuk memudahkan pembalikan, sisi-sisi bak dicopot dan dipasang kembali di sebelah timbunan. Ke dalam bak baru yang kosong terse­but timbunan kompos dimasukkan sehingga bagian atas akan menjadi bagian bawah.
Ada enam langkah yang perlu ditempuh dalam pembuatan kompos dengan tahapan ini pembuatan kompos lebih terjamin keberhasilannya.
1) Penyusunan tumpukan Bahan kompos ditum­puk di atas bilah-bilah bambu atau kayu. Se- lama 1—2 hari diper- ciki air sampai lem- bap, tetapi tidak becek.
2) Pemantauan suhu dan kelembapan tumpukan
Dari hari ke-4 hingga ke-40, tumpukan dijaga agar suhunya 45—65° C dan kelembapannya sekitar 50%. Secara sederhana, kelembapan dapat diukur dengan cara memasukkan tongkat kayu ke dalam tumpukan kompos, lalu mengeluarkannya.
 Bila tongkat kering, berarti ke- lembapannya kurang sehing- ga perlu dibalik dan disiram. Bila tongkat basah (lembap) berarti kelembapannya te- lah sesuai. Namun, bila tongkat terlalu basah maka kelembapannya terlalu ting- gi sehingga perlu segera di­balik. Cara mengukur lain­nya dengan memegang bahan kompos. Kelembapan ideal ditan- dai dengan bahan yang basah, tetapi tidak ada air yang menetes. Adapun suhu diukur dengan cara memasukkan tanagan ke dalam tumpukan kompos. Suhu 45—65° C ditandai dengan rasa hangat.
3) Pembalikan dan penyiraman
Pembalikan tumpukan dilakukan jika terjadi salah satu atau beberapa keadaan berikut. Suhu tumpukan di atas 65° C atau di bawah 45° C, tumpukan terlalu basah atau terlalu kering. Apabila suhu masih 45—60° C dan kelembapan 50%, tumpukan kompos belum waktunya dibalik.




4)          Pematangan
Hari ke-45, biasanya tumpukan telah mema- suki masa pematangan. Kompos yang matang ditandai dengan suhu tumpukan yang menu- run mendekati suhu ruang, tidak berbau bu- suk, bentuk fisik me- nyerupai tanah dan berwarna kehitam-hitaman. Pematangan ini bisa berlangsung selama 14 hari. Selama itu tetap dilaku­kan pemantauan suhu dan kelembapan tumpukan serta bila perlu dilakukan pembalikan.

5)          Pengayakan kompos
Tujuan dilakukan pengayakan yaitu agar memperoleh ukuran kompos sesuasi yang dikehendaki, memilah bahan yang belum terkomposkan secara sempurna, dan mengendalikan mutu kompos.

6) Pengemasan dan penyimpanan
Kompos yang sudah disaring, dikemas ke dalam kantung atau karung. Setelah itu disimpan di tempat yang kering dan aman, atau diletakkan di atas papan.

Bahan yang digunakan dalam pembuatan kompos ini yaitu ba han organik sisa-sisa pertanian, misalnya jerami, tongkol batang jagung, rumput, dan kotoran ternak yang telah dibasahi. Bahan organik tersebut (kecuali kotoran ternak) dipotong-potong sehingga berukuran kecil.
Bahan-bahan tersebut (kecuali kotoran ternak) ditumpuk de­ngan rumput di bagian atas. Tumpukan ini dibuat setebal 15 cm. Di atasnya, ditaruh kotoran ternak yang telah dibasahi. Di atas tum­pukan tersebut diberi tumpulan lagi dengan susunan lapisan yang sama. Hal ini dilakukan terus hingga tumpukan mencapai keting- gian 1,2 m. Kelembapan di dalam tumpukan bahan harus dijaga agar tetap lembap, tetapi tidak becek.
Jika pengomposan berlangsung baik, hingga 3—4 minggu akan terjadi kenaikan suhu. Setelah itu, suhu akan menurun. Itulah



saatnya kompos perlu dibalik. Untuk mengetahui apakah terjadi kenaikan suhu, gunakan tongkat kayu yang kering dan halus. Tusuk- kan ke dalam tumpukan kompos dan biarkan sekitar 10 menit. Lalu tarik tongkat tersebut. Jika terasa lembap dan hangat, berarti proses pengomposan berjalan normal dan baik. Jika tongkat itu kering, segera siramkan air ke dalam kompos. Jika tongkat dingin, ber­arti pengomposan gagal, maka harus diulang kembali pembuatannya.
Setelah sebulan dari terjadi penurunan suhu tersebut, kompos sudah siap dipakai.
Cara ini sejatinya mirip dengan pembuatan kompos praktis pertama, tetapi ada penyesuaian dalam hal bahan kompos, tempat pengomposan, dan volume kompos.
Bahan-bahan organik yang akan dikomposkan seperti jerami, daun-daunan, sisa sayuran, sampah dapur, dan sampah kota. Seperti cara pengomposan yang lain, bahan-bahan organik tersebut perlu dipotong-potong untuk mempercepat proses pengomposan. Proses pembusukan juga bisa dipercepat dengan penambahan pupuk, bisa pupuk kandang atau pupuk buatan.
Tempat pengomposan harus teduh, misalnya di bawah atap. Dasar atau landasannya agak diperkeras, jika perlu digunakan ubin. Tempat pengomposan semacam ini bisa berupa lubang atau di atas tanah. Adapun volume (panjang, lebar, tinggi) timbunan kompos disesuaikan dengan tempatnya.
Cara pembuatan kompos dimulai dari menimbun bahan orga­nik secara bertahap. Tiap Tnari bahan ditimbun setinggi maksimal sekitar 30 cm. Di atasnya, lalu ditaburi pupuk, kemudian diberi lapisan tanah dengan ketinggian sekitar 3—5 cm, tetapi sebelumnya, timbunan bahan disiram dengan air hingga cukup basah. Pada hari berikutnya, di atas tanah itu ditimbuni lagi dengan bahan kompos, lalu tanah lagi. Demikian seterusnya hingga diperoleh timbunan setinggi 1,2—1,5 m. Seluruh pekerjaan penimbunan tidak boleh lebih dari 10 hari. Penutupan tanah dilakukan tidak hanya di atas tumpukan bahan kompos, tetapi juga di bagian samping. Hal ini dilakukan untuk menghindarkan kompos dari kekeringan. Alterna- tif lain ialah menutup tumpukan bahan dengan lembaran plastik.
Hal yang terpenting dalam pengomposan adalah menjaga ke­lembapan. Caranya dengan mengaduk atau membalik sehingga bagian luar masuk ke dalam dan sebaliknya. Pada umumnya, penga- dukan dilakukan sekali seminggu. Agar kelembapan tidak terlalu tinggi, kompos harus terlindung dari air hujan yang berlebihan.
Sekitar umur sebulan, kompos sudah matang. Tandanya, berwarna agak cokelat kehitam-hitaman. Pengomposan yang terlalu panas akan menghasilkan kompos yang berwarna hitam. Makin hitam, berarti pengomposan makin panas.
Proses pengomposan cara ini hanya perlu waktu tiga minggu. Bahan yang digunakan yaitu kotoran hewan, sampah dapur, de- daunan, dan jerami. Dengan campuran tersebut diharapkan kan- dungan nitrogennya cukup banyak. Jika jumlah kotoran hewan dan sampah tidak mencukupi, dapat pula diberi tambahan pupuk buatan yang mengandung nitrogen pada campuran bahan kompos tersebut. Tujuannya yaitu mempercepat pengubahan kompos menjadi pupuk organik, membuat tanaman lebih cepat mencerna pupuk buatan, dan mencegah nitrogen menguap atau dihanyutkan hujan.
Cara pembuatan kompos di sini tidak jauh berbeda dengan pembuatan kompos yang lain, yaitu setelah dipotong menjadi ukur- an yang lebih kecil, bahan organik ditimbun dengan ketinggian maksimal 1,2—1,5 m. Bahan kompos tersebut perlu disiram de­ngan air secukupnya agar agak lembap. Pekerjaan selanjutnya yakni pengadukan atau pembalikan untuk menjaga kelembapan.
Sampah rumah tangga sangat ideal dijadikan kompos karena selain dapat memanfaatkan komposnya, lingkungan pun terhindar dari pencemaran. Selain sampah rumah tangga, cara ini dapat pula diterapkan untuk sampah dari pasar yang sebagian besar berupa sampah organik. Untuk mengolah sampah rumah tangga, diperlukan alat yang biasanya disebut komposter. Komposter ini pernah dite- liti dan diupayakan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Pe- mukiman, di bawah Balitbang Departemen Pekerjaan Umum, Ban­dung. Bahan-bahan untuk membuat komposter yaitu
@ drum atau tong plastik yang mempunyai tutup,
@  pipa pralon berdiameter 4 inci,
@  kasa plastik untuk menutup lubang pipa bagian luar, dan
@  b'atu kerikil.
Adapun cara pembuatannya sebagai berikut.
1)         Bagian atas tong plastik diberi 4 lubang diameter 4 inci untuk memasang pipa. Bagian bawah juga dilubangi dengan diameter yang sama, sebanyak 4—5 lubang, lalu ditutup kasa plastik untuk jalan air.
2)          Ujung pipa bagian luar ditutup kasa plastik untuk sirkulasi udara.
3)         Pipa dilubangi dengan bor sebesar 5 mm setiap jarak 5 cm. Tong juga dilubangi 5 mm dengan jarak 10 cm untuk udara.
4)          Pasang pipa pada empat sudut tong, lalu tanam di tanah. Tem- patkan pada bagian yang tidak kena hujan secara langsung.
5) Tepi tong ditutup batu kerikil setebal 15 cm. Demikian juga sekeliling pipa ditutup kerikil, baru ditutup tanah. Tempat sampah biasanya berbau karena sampah organik cepat membu- suk sehingga diperlukan kerikil untuk meredam bau tersebut.
Tong tersebut diisi dengan sampah rumah tangga, tentunya sampah organik, tetapi jangan diikutkan dengan kulit telur dan kulit kacang sebab sukar menjadi kompos. Setelah penuh, tong ditutup dan dibiarkan selama 3—4 bulan. Selama itu akan terjadi proses pengomposan. Sampah yang sudah jadi kompos berwarna hitam dan gembur seperti tanah. Ambil kompos itu dari komposter, lalu diangin-anginkan sekitar seminggu. Nah, kompos itu sudah siap di- pakai untuk pupuk tanaman.
Dalam komposter tersebut akan bermunculan belatung yang mungkin bisa menimbulkan rasa jijik. Belatung muncul dari sampah- sampah organik yang mengalami pembusukan. Kehadiran belatung itu justru dinantikan karena tugasnya melahap sampah dapur. Supaya belatung tidak berkeliaran maka tutup tong harus dijaga dalam keadaan rapat.
Dewasa ini, komposter sudah diproduksi dan tersedia di pasaran. Alat ini dirancang demikian rupa sehingga bisa dipasang dengan mudah di halaman rumah. Kapasitasnya 100 liter atau sekitar 200 kg sampah. Selama dalam proses, sampah itu juga tidak mengeluarkan bau karena alat itu dilengkapi pipa-pipa vertikal yang dipadati dengan kerikil di sekitarnya untuk mencegah keluarnya gas yang terjadi selama proses pengomposan.
Penempatan komposter ini harus hati-hati, tidak boleh terlalu dekat dengan sumur yang dangkal karena bisa tercemar. Alat ini juga tidak bisa diterapkan pada daerah yang permukaan air tanah- nya tinggi dan pada rumah-rumah yang tidak memiliki halaman sebab setiap komposter membutuhkan lahan sekitar 1 m2. Namun, kelemahan ini bisa diatasi, misalnya dibuat secara bersama atau komunal.

Mendengar kata tinja, yang terbayang adalah rasa jijik. Tapi jika diolah secara baik, tinja bisa menjadi kompos yang bermutu. Pemanfaatan tinja menjadi kompos ini sebenarnya sudah dikenal lama. Misalnya di India, hotel-hotel secara cermat menampung ko­toran manusia, kemudian dikirimkan ke tempat pengolahan tinja untuk selanjutnya diolah menjadi pupuk. Proses serupa juga dila­kukan di Tiongkok dan Singapura. Di Indonesia juga sudah ada pengolahan tinja. Misalnya di Magelang, Jawa Tengah, mulai sekitar akhir 1996, tinja justru diandalkan bisa menjadi sebagian sumber pendapatan asli daerah karena dapat dijual dalam bentuk kompos.
Pengomposan tinja dilakukan di Instalasi Pengolah Limbah Tinja (IPTL) yang menempati lahan seluas 0,5 hektar. Sebenarnya, IPTL tersebut mampu mengolah tinja 20,50 m3  tiap hari atau setara de­ngan 560 kg kompos tiap hari. Namun, sekitar akhir 1996, dengan jumlah penduduk Magelang sekitar 116.000 jiwa hanya dapat menghasilkan timbunan tinja 13,98 m3 tiap hari karena tidak semua tinja bisa diolah.
Proses pengomposan tinja dilakukan lewat kolam-kolam oksi- dasi sederhana. Kolam ini ditata berjajar untuk memudahkan pengo­lahan dan menekan biaya operasi. Urutannya dimulai dari bak penam­pung atau penyaring berukuran 2x2x2 (m), kolam anaerobik I dan II ukuran 30,8 x 7 x 3 (m), kolam fakultatif ukuran 23,6 x 7 x 3 (m), serta kolam maturisasi dan tempat pengering lumpur.
Kompos tinja pada dasarnya merupakan hasil proses fisik, biokimia, dan bakteriologis sama seperti pengolahan kompos dari kotoran hewan yang sudah lama dikenal. Secara sederhana, berikut ini proses pengomposannya.
1) Tinja dicampur dengan air, lalu dimasukkan ke bak penampung. Kemudian dilakukan proses penyaringan untuk memastikan ha­nya cairan tinja dan tinja murni yang bakal diproses. Sisa-sisa sampah yang lain, dibuang. Pada tahap ini, baunya memang menyengat, tetapi cuma sehari.
2)          Cairan dan tinja terpilih lalu dimasukkan ke kolam anaerob yang kedap air. Tahap ini merupakan proses perombakan bahan organik oleh bakteri anaerobik. Pada tahap ini, terjadi penurunan tingkat pencemaran tinja yang dapat dilihat dari turun- nya BOD (biological oxygen demand) dari 2.800 mg/1 menjadi 700 mg/1. Proses ini memakan waktu 18 hari.
3)          Upaya penurunan BOD berlanjut di kolam anaerobik II. Dalam waktu 11 hari, BOD larutan tinja itu turun menjadi 175 mg/1.
4)          Proses selanjutnya dilakukan di kolam fakultatif. Pada tahap ini, larutan tinja itu sudah cukup "bersih" dan "segar". Dalam kondisi ini memungkinkan tumbuhnya ganggang hijau yang mengha- silkan oksigen. Dengan demikian, kondisi air limbah itu makin membaik dengan BOD 43 mg/1.
5)          Tahap selanjutnya adalah mematangkan tinja di kolam maturi- sasi. Proses ini memakan waktu 10 hari. Dilakukan penambahan kapur sebagai upaya menetralkan cairan yang sudah berbentuk bubur tinja. Pada tahap ini, proses anaerobik masih berlang- sung. Saat itu juga terjadi pemusnahan mikroorganisme patogen yang biasa bercokol di air kotor dengan BOD tinggi.
6)          Sisa-sisa bahan organik eks-tinja diendapkan. Endapan tersebut dimasukkan ke kolam pengering dengan tinggi endapan dijaga maksimal 25 cm. Limbah cair yang aman dapat dibuang ke sungai. Setelah sekitar 150 hari, barulah kompos yang terbentuk siap dimanfaatkan untuk menyuburkan berbagai tanaman.



Kompos BIPIK adalah kompos yang dihasilkan oleh Bimbingan dan Pengembangan Industri Kecil (BIPIK). Bahan utama kompos ini adalah campuran sampah kota, kotoran hewan, belerang, dan ragi kompos. Adapun peralatan yang digunakan yaitu
@     1 gilingan belerang dengan kapasitas 60 kg tiap jam,
@     3 ayakan ukuran 1 x 2 m'\
@     1 buah tromel pencampur dengan kapasitas 150 kg tiap jam,
@     1 timbangan kapasitas 300 kg,
@     4 kereta sorong atau alat angkut,
@     1 roller beton garis tengah 0,6 m dan panjang 1,5 m, serta
@      peralatan lain-lain.

































100 m
kETERANGAN:
1.  Pembusukan sampah
2.  Ayakan 3 tingkat
3.  Pengeringan
4 Gudang bahan dan penolong
5.  Gilingan belerang
6.  Pencampuran tromel
7.  Gudang produk
8.  Kantor
9.  Pengantongan dan penimbangan

Tata letak ruangan dalam pembuatan kompos BIPIK





Selain peralatan produksi, pembuatan kompos ini juga merrierlukan lahan sekitar 10.000 m2.  Lahan itu di antaranya dipergunakan untuk ruang kantor 9 m2 , ruang pengolahan 39 m2, , gudang bahan baku dan bahan pendukung 35 m2, , gudang produk 57 m2,  dan lantai pengeringan terbuka 375m2. . Adapun lahan sekitar 9.845 m2 diperlukan untuk tempat penimbunan sampah, pembusukan, lapangan terbuka, dan jalan.
Pengolahan dari sampah hingga menjadi kompos akan selalu melalui tahap-tahap persiapan, proses pembusukan, pengeringan, pengayakan, pencampuran, dan pengepakan.
1)         Persiapan bahan baku
Bahan-bahan anorganik seperti logam, kaca, plastik, maupun baterai dipisahkan dari bahan-bahan organik.
2)          Proses pembusukan
Sampah bahan organik ditumpuk berlapis-lapis di atas tanah dengan ukuran 5 m x 2 m. Setiap lapis dengan tinggi 45 cm diberi kotoran hewan setinggi 5 cm. Lapisan ini dibuat berlapis-lapis hingga tingginya mencapai 2 m. Untuk mempercepat proses pembusukan, pada tiap lapisan ditaburkan ragi kompos.
Setelah 1 bulan, tumpukan sampah dibalik. Pembalikan ini diulang lagi bila udara dalam tumpukan mulai berkurang. Demi­kian seterusnya sampai proses pembusukan selesai dan sampah berubah menjadi pupuk kompos. Proses pembusukan tersebut berlangsung selama 6 bulan ini.
3)          Pengeringan
Pupuk kompos yang sudah jadi dimasukkan dalam karung goni. Tiap karung yang berisi sekitar 100 kg diangkut dengan kereta sorong ke lantai pengeringan. Di lantai semen ini, kompos diserakkan agar memperoleh sinar matahari sampai kadar airnya tinggal 10%. Pupuk yang sudah kering ini selanjutnya digilas
Diagram alir pembuatan kompos BIPIK

                                                  dengan roller beton agar butiran-butiran kasar dalam kompos menjadi tepung halus.
4)          Pengayakan
Kompos kering yang terbentuk belum semuanya menjadi tepung sehingga perlu diayak. Dengan demikian akan diperoleh kompos dengan kehalusan 100 mesh.
5)          Pencampuran
Tepung kompos masih dicampur dengan belerang halus (keha- lusannya 100 mesh). Tiap 1 ton kompos dicampur dengan 10 kg belerang. Belerang ini akan berfungsi menyehatkan ta- naman sebab di dalam tanah sebagian belerang diubah menjadi senyawa yang dapat diserap oleh tanaman. Perubahan itu dilakukan oleh mikroba-mikroba di dalam tanah.

Diagram blok pembuatan kompos BIPIK

6) Pengepakan
Tepung kompos yang telah dicampur tepung belerang dimasuk­kan dalam karung goni dengan berat 10 kg, 25 kg, atau 50 kg. Kompos ini telah memenuhi persyaratan karena berwarna hitam, mengandung unsur hara utama 2,3%, mengandung C (karbon) organik 40,2%, dan pH-nya 7,2.
Stardec bukannya kompos, melainkan pemacu atau starter mikroba pengompos sampah, khususnya kotoran ternak. Stardec ini diproduksi dari isolasi mikroba rumen (lambung pencernaan perta- ma sapi), usus besar, dan tanah hutan yang diperkaya dengan rhizo- sphere dalam serta akar rumput Graminae. Stardec ini- dapat di- gunakan untuk mempercepat pengomposan. Proses pengomposan yang biasa berlangsung 3—4 bulan dapat dipercepat menjadi 5 minggu.
Bahan utama dalam pembuatan kompos ini biasanya berupa kotoran ternak. Adapun perbandingan bahan-bahan yang digunakan yaitu kotoran ternak 100%; Stardec 0,25%; urea 0,25%; SP-36 0,25%; serbuk gergaji 10%; abu 10%; dan kalsit 2%.
Setiap tahap sebaiknya dilakukan dalam bak tersendiri sehing­ga bila ada 3 tahap, berarti diperlukan 3 bak. Bak ini dibatasi de­ngan tembok setinggi + 50 cm dan bagian atas diberi atap atau naungan.
Ketiga tahap pengomposan tersebut masing-masing memer- lukan wakti 1 minggu untuk tahap I, 3 minggu untuk tahap II, dan 1 minggu untuk tahap III. Dengan demikian, total waktu yang di­perlukan untuk pengomposan sekitar 5 minggu. Adapun langkah- langkah tiap tahap sebagai berikut.
Pembuatan kompos dengan tambahan Stardec hanya memertukan waktu 4—6 minggu


1)         Tahap I
Bahan kotoran ternak disiapkan dengan kelembapan sekitar 60%. Bila terlalu becek atau kelembapannya lebih dari 60% maka kotoran ternak didiamkan beberapa waktu hingga mencapai kelem­bapan yang diinginkan. Namun, bila kotoran ternak terlalu kering maka perlu disiram air agar kelembapannya naik. Setelah kelem­bapan mencapai 60%, kotoran ternak ditambah dengan serbuk gergaji, Stardec, urea, dan SP-36, lalu dicampur hingga rata. Diam- kan bahan ini selama 1 minggu.
2)          Tahap II
Bahan di tahap I dibalik dengan cara dipindahkan ke bak yang lain. Pada saat pembalikan ini, dilakukan juga penambahan abu dan kalsit. Proses yang berlangsung sekitar 3 minggu ini perlu dijaga kelembapan dan suhunya dengan cara pembalikan.
3)          Tahap III
Pada tahap yang terakhir ini, bahan kompos akan mengalami penstabilan, yaitu suhu mulai turun ke suhu normal dan bahan sudah berbentuk remah. Kondisi ini menandakan bahwa bahan kompos telah menjadi kompos sehingga sudah dapat digunakan untuk pupuk. Apabila kompos yang dibuat dalam jumlah banyak maka perlu dilakukan penyaringan dan pengemasan sehingga dapat disimpan.
Kompos (pupuk) cacing atau kascing merupakan pupuk yang berasal dari kotoran cacing. Dari kotoran cacing alias vermics itulah, kita mengenal kata vermikasi. Vermikasi merupakan proses penguraian sampah-sampah organik yang dilakukan oleh cacing sehingga dihasilkan kotoran cacing (menjadi pupuk). Ternyata,
Kascing, pupuk dari kotoran cacing

cacing (khususnya Lumbricus rubrelus) bisa dimanfaatkan untuk mengatasi soal sampah.
Dengan vermikasi yang baik akan mampu mengurangi sekitar 50% produk sampah setiap harinya. Prinsip vermikasi sama dengan pembuatan kompos, hanya saja di sini proses pengomposan dibantu oleh cacing untuk mempercepat penguraian. Pupuk atau kompos yang dihasilkan umumnya bagus kualitasnya, selain murah dan mu- dah pembuatannya.
Sampah organik yang akan dikomposkan ditumpuk, lalu di atasnya diberi lapisan pupuk kandang. Untuk menciptakan pH (keasaman) netral, tambahkan kapur 1 : 100 bahan organik. Bahan- bahan tersebut disiram air agar lembap. Setelah 4 hari, kompos diaduk rata. Selanjutnya, setiap 3 hari sekali dilakukan pembalikan. Lima belas hari kemudian, kompos diangin-anginkan selama 6 hari. De­ngan demikian, bahan kompos sudah siap ditanami cacing.
Agar mudah diurai, bahan kompos dicacah dan dibasahi lebih dulu. Setelah itu, diberi cacing. Benih cacing yang sehat berukuran 7—15 cm dan diameter 4—6 mm. Dalam sehari (24 jam), cacing ini akan makan sebanyak berat tubuhnya. Jadi, 1 kg cacing akan makan sampah seberat 1 kg sehari dengan hasil 400 g kotoran. Makin ba- nyak cacing, makin cepat proses pembuatan kascingnya.
Proses penguraian sampah dengan bantuan cacing tidak menim- bulkan bau dan lalat. Setelah 16 hari, selain sampah menjadi kom­pos, juga dihasilkan kascing alias kotoran cacing. Kascing ini mem- punyai nilai ekonomis yang lebih tinggi dibanding kompos.
Kascing kini tersedia di pasaran dan harganya relatif murah. Walaupun demikian, sampai saat belum banyak petani atau pengu- saha pertanian yang menggunakan kascing, mereka masih memilih pupuk kimia. Padahal, pupuk kimia memberikan dampak yang ku- rang menguntungkan juga, yaitu tanah menjadi keras.
Sampah yang kotor, menjijikkan, bau, serta menjadi habitat bagi lalat dan sumber penyakit itu dapat diubah menjadi kompos dengan sedikit sentuhan teknologi sederhana. Selain menjadi komoditas yang berguna, lingkungan yang semula kotor pun berubah menjadi lebih nyaman.
Tahap pengomposan pada umumnya dilakukan sebagai berikut.
1)         Sampah-sampah yang terkumpul disortir antara sampah organik dan sampah anorganik. Sampah organik ditumpuk untuk dikom- poskan, sedangkan sampah anorganik dikirim ke TPA.
2)          Sampah hijau organik yang terkumpul ditumpuk di atas lantai yang dasarnya diberi terowongan udara untuk sirkulasi udara.
3)          Setiap minggu, tumpukan sampah ini dibalik untuk menjaga agar suhu tetap pada tingkat 55—60° C.
4)           Dalam waktu 6—8 minggu, tumpukan sampah itu hancur dan tinggal diayak.
5)          Hasil ayakan inilah yang siap digunakan untuk memupuk lahan pertanian atau dipasarkan.
Melihat situasi di Indonesia, maka proses pengomposan tersebut cocok dilakukan dengan sistem open windrow (sistem tumpukan ter­buka). Sampah ditumpuk di tempat terbuka, tetapi beratap. Untuk proyek desa atau usaha kecil, sistem open windrow bisa menjadi salah satu cara mengurangi pengangguran. Di sebuah proyek kecil pembuatan kompos semacam ini bisa menampung antara 8—10 orang tenaga kerja dengan bekal latihan teknis sederhana. Dengan luasan lahan sekitar 850 m2 dapat dihasilkan kompos 1,75 ton/hari.
Fix-Up Plus berupa pupuk cair yang merupakan senyawa orga­nik murni yang diolah lewat proses bioteknologi yang dikembangkan oleh Timothy Soeharyo dari Semarang, Jawa Tengah. Dengan pupuk ini, proses terbentuknya humus yang memakan waktu ratusan tahun dapat dipercepat dalam waktu 3—4 bulan atau pro­ses pengomposan dapat dipercepat sehingga hanya memerlukan waktu 2—3 minggu. Bahan pupuk ini dari limbah yang biasanya terbuang, sekitar 30 jenis, misalnya tepung biji kapas, kulit udang, kepiting, rumen bandeng, kulit kayu yang mengandung banyak ja- mur, dedaunan terutama daun petai cina, serta kotoran hewan dan unggas (seperti burung walet yang kandungan P dan N-nya sangat tinggi).
Pupuk organik cair ini bisa langsung digunakan di lahan perta­nian atau digunakan untuk mempercepat proses pengomposan. Apa- bila akan membuat kompos dengan tambahan pupuk ini maka bahan yang dibutuhkan yaitu bahan organik yang telah dipotong kecil-kecil, kotoran hewan (bila ada), kapur secukupnya untuk menetralkan pH, tanah, dan pupuk cair Fix-Up Plus. Pupuk cair 1 liter yang dilarut- kan dalam 500 liter air dapat digunakan untuk mempercepat pengomposan bahan organik sebanyak 1 ton. Larutan pupuk cair diberikan sedikit demi sedikit sehingga pencairannya secukupnya saja. Misalnya pencairan pertama cukup 10 cc pupuk cair yang ditambah dengan air sebanyak 5 liter.
Cara pembuatan kompos sebagai berikut. Bahan organik di­campur dengan kotoran hewan, kapur, dan tanah. Setelah tercam- pur, bahan kompos ditimbun dengan tinggi maksimal 1 m. Bahan ini lalu disiram dengan pupuk cair yang telah dilarutkan (konsen- trasinya seperti di atas) hingga kelembapannya 60% (bila digeng- gam basah, tetapi tidak ada air yang menetes). Untuk menghindari matahari langsung dan air hujan, tumpukan bahan sebaiknya di bawah naungan atau ditutup dengan plastik. Setiap 10 hari sekali, bahan dibalik agar terjadi pertukaran udara di dalam bahan kom­pos. Apabila kelembapan berkurang atau mulai kering, bahan di­siram kembali dengan pupuk cair yang telah dilarutkan dengan konsentrasi yang sama.
Hasil kompos yang dibuat dengan tambahan pupuk cair


Sekitar 2—3 minggu, bahan kompos telah menjadi kompos dengan ciri-ciri: bahan telah gembur, berwarna hitam, dan tidak berbau busuk. Dengan kondisi seperti ini, bahan telah dapat digu­nakan untuk menyuburkan tanah.
Pembuatan pupuk kompos ini sebenarnya cukup sederhana. Komposisi kompos ini dapat hanya terdiri dari kotoran sapi saja atau dicampur air kencing sapi, ditambah serbuk gergaji, ampas tebu, dan sampah dedaunan.
Pembuatan kompos ini sebaiknya di tempat yang teduh atau ternaungi agar bau yang ditimbulkan selama proses pengomposan tidak tersebar ke mana-mana. Bahan-bahan kompos tersebut ditim- bun, lalu disiram dengan air agar kelembapannya berkisar 50—60%. Dengan kelembapan tersebut proses pengomposan akan berjalan dengan baik. Proses pengomposan akan berlangsung sekitar 2—3 bulan. Kompos yang telah jadi dicirikan dengan warna yang ke- hitaman, bentuknya gembur (remah), dan tidak berbau.
Limbah padat yang berasal dari industri pulp dan kertas ter- nyata memiliki potensi sebagai media tanaman jamur merang (Volvariella volvaceae) dan pupuk tanaman. Penelitian dan uji coba- nya sudah dilakukan, misalnya di Balai Besar Penelitian dan Pengem- bangan Industri Selulosa (BBS) di Bandung. Selain itu, beberapa industri pulp dan kertas sudah melakukan usaha tersebut, misalnya di Karawang, Bandung Selatan, dan Sukabumi. Pupuk organik yang dihasilkan mengandung karbon organik 3,97%, nitrogen 16,5%, fosfor 3,75 %, kalium 2,99%, dan unsur-unsur mikro lainnya.
Sebelum dijadikan pupuk tanaman, limbah padat industri pulp dan kertas dijadikan media jamur merang lebih dahulu. Limbah padat tersebut mula-mula dijadikan kompos dengan disimpan sela- ma dua minggu. Kemudian, kompos tersebut disterilisasi selama 6—12 jam dengan suhu 70° C agar bebas dari jamur pengganggu. Setelah itu, media ini baru dapat digunakan untuk penanaman jamur. Setelah jamur dipanen, kompos yang sudah berkurang pro- duksinya bisa dijadikan pupuk organik.
Penggalakan kembali ke bahan organik cukup gencar dikampaye- kan para ahli. Di Lombok, misalnya, Dr. Ir. Parman, ahli Fitopato- logi, menganjurkan penggunaan azolla (tanaman paku air) untuk menyuburkan tanah. Azolla ini cukup ditebarkan di sawah irigasi dan setelah berkembang biak, dibenamkan ke dalam tanah saat air dikeringkan. Di lahan kering, azolla digarap di tempat lain dan dijadikan kompos terlebih dahulu, sebelum digunakan.
Pembuatan kompos azolla sebenarnya tidak berbeda dengan pembuatan kompos yang lain. Tempat yang digunakan sebaiknya tidak tergenang air dan ternaungi. Adapun bahannya, selain azolla sendiri, juga diberi tambahan kapur atau abu (untuk menaikkan pH), pupuk kandang, dan tanah. Untuk mempercepat pengom- posan, dapat pula ditambah urea atau ZA.
Cara pembuatan kompos azolla sebagai berikut. Azolla ditum­puk dengan tinggi sekitar 1 m, kemudian di atasnya diberi kapur atau abu setebal 6 cm. Lalu, di atasnya dilapis dengan tanah dan pupuk kandang setebal 4 cm. Bila memalai urea atau ZA, pupuk ini ditabur di atas tanah dan pupuk kandang. Kelembapan bahan kom­pos ini perlu dijaga sekitar 60%. Apabila kelembapannya kurang dari 60%, tumpukan azolla dapat disiram air hingga mencapai kelembapan ideal. Pembalikan juga dilakukan setiap 7 hari agar proses pengomposan berlangsung secara merata.
Azolla dapat digunakan dengan cara ditebar di sawah atau dijadikan kompos teriebih dahulu


Sekitar 2—2,5 bulan, kompos azolla ini telah masak yang ditan- dai dengan warna kehitaman dan tidak berbau. Dengan demikian, kompos ini telah dapat digunakan.
Tujuan utama penggunaan azolla adalah memberdayakan pe- tani agar lebih banyak menggunakan sumber daya lokal. Dengan demikian, ketergantungan pada bahan buatan pabrik atau hasil impor bisa dikurangi dan yang terpenting tak terjadi pencemaran akibat digunakannya bahan kimiawi. Tidak adanya pencemaran memungkinkan petani untuk melakukan usaha tani terpadu, misal­nya mina padi.
Pemakaian pupuk azolla dan pupuk kandang ternyata dapat meningkatkan hasil gabah kering panen (GKP). Tanaman padi yang dipupuk dengan pupuk buatan sesuai rekomendasi dapat menghasil- kan 5,4 ton GKP, sedangkan bila dipupuk 10 ton pupuk kandang dan 2 ton azolla, dapat dihasilkan 6,06 ton GKP.

O.  Kompos Limbah Pabrik Gula
Pupuk limbah pabrik gula (PLPG) ini memanfaatkan bahan- bahan limbah dalam proses produksi gula yang selama ini terbuang. Limbah itu berupa abu ketel, blothong, bagas (ampas tebu), dan tetes. Kecuali limbah bagas yang digunakan untuk pembakaran dan tetes yang dikonsumsi oleh industri lain (bahan MSG, ethanol), pihak pabrik gula selalu kewalahan untuk memusnahkan limbah lainnya. Biayanya untuk mengatasi limbah ini sekitar Rp 230 juta setahun.
Teknologi dan proses produksi PLPG amat sederhana, yang terpenting adalah bahan terlindung dari terik matahari dan hujan. Limbah abu ketel, blothong, bagas, dan daun tebu dicampur dengan kotoran ternak serta Stardec. Jumlah limbah pabrik gula dan kotor­an ternak sebaiknya sama, misalnya 50 kg limbah pabrik gula dan 50 kg kotoran ternak. Adapun Stardec yang dibutuhkan sekitar 0,25% dari bahan kompos
Seperti pembuatan kompos yang lain, kelembapan bahan diu- sahakan sekitar 60%. Agar proses pengomposan berjalan lancar dan merata, tumpukan bahan dibalik seminggu sekali. Dengan demikian, dalam waktu 3 minggu, produk pupuk kompos sudah siap digunakan.
Jadi, kegiatan memproduksi PLPG bisa memacu multiusaha di setiap lingkungan pabrik gula. Salah satu multiusaha itu adalah peternakan sapi dengan memanfaatkan pucuk-pucuk batang tebu dan daunnya yang selama ini dianggap sebagai limbah untuk pakan ternak. Kotoran ternak dan limbah pabrik gula lainnya dapat diolah menjadi kompos. Kompos tersebut dimanfaatkan untuk tanaman tebu.

Tidak ada komentar: