Rabu, 16 Mei 2012

Hati (Qalb)


Dalam konteks sufisme, yang dimaksud qalbu atau hati bukanlah pengertian secara fisik yaitu segumpal daging yang berada dekat pusat atau liver, yang berfungsi untuk mengedarkan darah. Bukan pula suatu yang beredar dalam dada seseorang. Ia bukanlah hati yang merupakan organ intusi supra rasional yang berhubungan dengan lathifah rabbaniyyah, yaitu sesuatu yang halus di dalam sosok manusia yang hakikatnya hanya diketahui oleh Allah. Jadi, apa yang berdebar di dalam dada seseorang yang acapkali didekap-dekap sambil dibisiki: “Hatiku, hatiku, hatiku,” menusut terminologi sufi ia bukanlah merupakan hati sebenarnya.

Dikatakan oleh Imam Ghazali bahwa hati (Qalb) mempunyai dua makna. Makna pertama ialah hati sebagai bagian dari anggota tubuh manusia, serupa daging yang disebut jantung, terletak di dalam rongga dada. Makna kedua ialah sebagai lathifah rabbaniyyah yang merupakan daya kemampuan manusia yang diberikan Allah Swt. untuk mengetahui, memahami dan menguasai seluk beluk sesuatu.

Itulah sebabnya sering dinyatakan, bahwa di dalam tubuh manusia yang kecil ada sebuah alam yang luasnya melebihi alam jagad raya ini, yaitu hakikatnya hati seorang al’arif billah. Diriwatkan dalan hadis qudsi, Allah Azza wal Jalla berfirman : “Bumi dan langit tidak akan mampu menampung-Ku, dan hanya hati orang-orang yang beriman sajalah tempat-Ku bersemayam.”

Maka ketika Rasulullah Saw. pernah ditanya tentang di mana Allah berada, apakah di bumi atau di langit. Jawab beliau, “Dia berada di hati hamba-hamba-Nya yang berimam.”

Tentu, keluasan makna ini merujuk kepada keadaan hati yang suci yang dimiliki oleh golongan ‘arifin. Di mana hati yang suci itu bisa digambarkan laksana sebuah negeri yang makmur dan subur, dihiasi taman yang penuh berkah, mata airnya tak pernah keing, kenikmatannya tak pernah habis, dan pohonnya terus berbuah tak mengenal batas musim. Dengan begitu, orang yang selalu memperhatikan kesucian hatinya, menjaga dan memdidiknya dengan baik, maka rohnya akan tetap muda, perasaannya lembut, dan penampilan pun akan ceria dan bergairah. Namun, hati baru akan bisa tenang dan istiqomah manakala ia terus disirami dengan percikan-percikan iman melalui amal ibadah yang mudawamah (tidak berkeputusan). Dan juga hati itu akan lebih hidup manakala ia selalu berada dalam dzikrullah dan mulazamah di dalam melakukan mujahadtrun nafsi, serta tekun melakukan tazkiyah,yakni membersihkan hati dari segala kotoran dan penyakit hati. Disamping itu, akan merasa sedih dan kecewa bila tidak mampu melaksanakan hal-hal yang baik dan terpuji, dan juga akan menyesal manakala melakukan hal-hal yang salah dan tercela.

Hakikat hati nurani manusian adalah berasal dari nur Ilahiyah, sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya, “Cahaya di atas cahaya, Allah membimbing kepada cahaya (nur)-Nya siapa saja yang Dia kehendaki.” (QS. An Nur:35)

Pendek kata, sejahat apapun manusia yang selalu menuruti hawa nafsunya, namun dalam hati nuraninya akan tetap jujur untuk menyadari kesalahan dirinya.

Tidak ada komentar: