Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh adalah dua kerajaan yang merupakan pecahan
dari Kerajaan Tarumanagara. Dalam
catatan perjalanan Tome Pires (1513),
disebutkan bahwa dayo (dayeuh) Kerajaan Sunda terletak dua hari perjalanan dari
Pelabuhan Kalapa yang terletak di muara Sungai Ciliwung. Keterangan mengenai keberadaan
kedua kerajaan ini juga terdapat pada beberapa prasasti. Prasasti di Bogor
banyak bercerita tentang Kerajaan Sunda
sebagai pecahan Tarumanagara, sedangkan prasasti di daerah Sukabumi bercerita tentang keadaan Kerajaan
Sunda sampai dengan masa Sri Jayabupati.
Berdirinya kerajaan Sunda dan Galuh
Pembagian Tarumanagara
Tarusbawa yang berasal dari Kerajaan Sunda
Sambawa menggantikan mertuanya menjadi penguasa Tarumanagara yang ke-13. Karena pamor Tarumanagara
pada zamannya sudah sangat menurun, ia ingin mengembalikan keharuman jaman Purnawarman yang berkedudukan di purasaba
(ibukota) Sundapura. Dalam tahun 670 M, ia mengganti nama Tarumanagara menjadi
Kerajaan Sunda. Peristiwa ini dijadikan alasan oleh Wretikandayun
pendiri Kerajaan Galuh, untuk memisahkan negaranya dari kekuasaan Tarusbawa.
Karena Putera Mahkota Galuh berjodoh dengan
Parwati puteri Maharani Shima dari
Kerajaan Kalingga, Jawa Tengah, maka dengan dukungan Kalingga,
Wretikandayun menuntut kepada Tarusbawa supaya bekas kawasan Tarumanagara
dipecah dua. Dalam posisi lemah dan ingin menghindarkan perang saudara,
Tarusbawa menerima tuntutan Galuh. Dalam tahun 670 M Kawasan Tarumanagara
dipecah menjadi dua kerajaan, yaitu Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh dengan Sungai Citarum
sebagai batas.
Lokasi ibukota Sunda
Maharaja Tarusbawa kemudian mendirikan
ibukota kerajaan yang baru, seperti yang sudah diungkapkan dibagian sebelumnya,
di daerah pedalaman dekat hulu Sungai Cipakancilan.
Dalam Carita Parahiyangan,
tokoh Tarusbawa ini hanya disebut dengan gelarnya: Tohaan di Sunda (Raja
Sunda). Ia menjadi cakal-bakal raja-raja Sunda dan memerintah sampai tahun 723
M.
Sunda sebagai nama kerajaan tercatat dalam
dua buah prasasti batu yang ditemukan di Bogor
dan Sukabumi. Kehadiran Prasasti Jayabupati di
daerah Cibadak sempat membangkitkan dugaan bahwa Ibukota Kerajaan Sunda
terletak di daerah itu. Namun dugaan itu tidak didukung oleh bukti-bukti
sejarah lainnya. Isi prasasti hanya menyebutkan larangan menangkap ikan pada
bagian Sungai Cicatih yang
termasuk kawasan Kabuyutan Sanghiyang Tapak. Sama halnya dengan kehadiran batu
bertulis Purnawarman di Pasir Muara dan Pasir Koleangkak yang tidak menunjukkan
letak ibukota Tarumanagara.
Keterlibatan Kalingga
Karena putera mahkota wafat mendahului
Tarusbawa, maka anak wanita dari putera mahkota (bernama Tejakancana) diangkat
sebagai anak dan ahli waris kerajaan. Suami puteri inilah yang dalam tahun 723
menggantikan Tarusbawa menjadi Raja Sunda II. Cicit Wretikandayun ini bernama
Rakeyan Jamri. Sebagai penguasa Kerajaan Sunda ia dikenal dengan nama Prabu
Harisdarma dan kemudian setelah menguasai Kerajaan Galuh ia lebih dikenal
dengan Sanjaya.
Sebagai ahli waris Kalingga ia kemudian menjadi penguasa Kalingga
Utara yang disebut Bumi Mataram (Mataram Kuno) dalam tahun 732 M. Kekuasaan di
Jawa Barat diserahkannya kepada puteranya dari Tejakencana, Tamperan atau
Rakeyan Panaraban. Ia adalah kakak seayah Rakai Panangkaran, putera Sanjaya dari Sudiwara
puteri Dewasinga Raja Kalingga Selatan atau Bumi Sambara.
Prasasti Jayabupati
Isi prasasti
Telah diungkapkan di awal bahwa nama Sunda
sebagai kerajaan tersurat pula dalam prasasti yang ditemukan di daerah
Sukabumi. Prasasti ini terdiri atas 40 baris sehingga memerlukan empat (4) buah
batu untuk menuliskannya. Keempat batu bertulis itu ditemukan pada aliran Sungai Cicatih di
daerah Cibadak. Tiga ditemukan di
dekat Kampung Bantar Muncang, sebuah ditemukan di dekat Kampung Pangcalikan.
Keunikan prasasti ini adalah disusun dalam huruf dan bahasa
Jawa Kuno. Keempat prasasti itu sekarang disimpan di Museum Pusat
dengan nomor kode D 73 (dari Cicatih), D 96, D 97 dan D 98. Isi ketiga batu
pertama (menurut Pleyte):
D 73 : //O// Swasti shakawarsatita
952 karttikamasa tithi dwadashi shuklapa-ksa. ha. ka. ra. wara tambir. iri- ka
diwasha nira prahajyan sunda ma-haraja shri jayabhupati jayamana- hen
wisnumurtti samarawijaya shaka-labhuwanamandaleswaranindita harogowardhana
wikra-mottunggadewa, ma-
D 96 : gaway tepek i purwa sanghyang tapak
ginaway denira shri jayabhupati prahajyan sunda. mwang tan hanani baryya baryya
shila. irikang lwah tan pangalapa ikan sesini lwah. Makahingan sanghyang tapak
wates kapujan i hulu, i sor makahingan ia sanghyang tapak wates kapujan i
wungkalagong kalih matangyan pinagawayaken pra-sasti pagepageh. mangmang
sapatha.
D 97 : sumpah denira prahajyan sunda. lwirnya
nihan.
Terjemahan isi prasasti, adalah sebagai berikut:
Selamat. Dalam tahun Saka 952 bulan Kartika
tanggal 12 bagian terang, hari Hariang, Kaliwon, Ahad, Wuku Tambir. Inilah saat
Raja Sunda Maharaja Sri Jayabupati Jayamanahen Wisnumurti Samarawijaya
Sakalabuwanamandaleswaranindita Haro Gowardhana Wikramottunggadewa, membuat
tanda di sebelah timur Sanghiyang Tapak. Dibuat oleh Sri Jayabupati Raja Sunda.
Dan jangan ada yang melanggar ketentuan ini. Di sungai ini jangan (ada yang)
menangkap ikan di sebelah sini sungai dalam batas daerah pemujaan Sanghyang
Tapak sebelah hulu. Di sebelah hilir dalam batas daerah pemujaan Sanghyang
Tapak pada dua batang pohon besar. Maka dibuatlah prasasti (maklumat) yang
dikukuhkan dengan Sumpah.
Sumpah yang diucapkan oleh Raja Sunda
lengkapnya tertera pada prasasti keempat (D 98). Terdiri dari 20 baris, intinya
menyeru semua kekuatan gaib di dunia dan disurga agar ikut melindungi keputusan
raja. Siapapun yang menyalahi ketentuan tersebut diserahkan penghukumannya
kepada semua kekuatan itu agar dibinasakan dengan menghisap otaknya, menghirup
darahnya, memberantakkan ususnya dan membelah dadanya. Sumpah itu ditutup
dengan kalimat seruan, "I wruhhanta kamung hyang kabeh" (Ketahuilah
olehmu parahiyang semuanya).
Tanggal prasasti
Tanggal pembuatan Prasasti Jayabupati
bertepatan dengan 11 Oktober 1030. Menurut Pustaka Nusantara, Parwa III sarga
1, Sri Jayabupati memerintah selama 12 tahun (952 - 964) saka (1030 -1042 M).
Isi prasasti itu dalam segala hal menunjukkan corak Jawa Timur. Tidak hanya huruf, bahasa dan gaya,
melainkan juga gelar raja yang mirip dengan gelar raja di lingkungan Keraton
Darmawangsa. Tokoh Sri Jayabupati dalam Carita Parahiyangan disebut dengan nama
Prabu Detya Maharaja. Ia adalah raja Sunda ke-20 setalah Maharaja Tarusbawa.
Penyebab perpecahan
Telah diungkapkan sebelumnya, bahwa Kerajaan
Sunda adalah pecahan Tarumanagara. Peristiwa itu terjadi tahun 670 M. Hal ini
sejalan dengan sumber berita Cina yang menyebutkan bahwa
utusan Tarumanagara yang terakhir mengunjungi negeri itu terjadi tahun 669 M.
Tarusbawa memang mengirimkan utusan yang memberitahukan penobatannya kepada
Raja Cina dalam tahun 669 M. Ia sendiri dinobatkan pada tanggal 9 bagian-terang
bulan Jesta tahun 591 Saka, kira-kira bertepatan dengan tanggal 18 Mei 669 M.
Sanna dan Purbasora
Tarusbawa adalah sahabat baik Bratasenawa
alis Sena (709 - 716 M), Raja Galuh ketiga. Tokoh ini juga dikenal dengan Sanna,
yaitu raja dalam Prasasti Canggal (732 M), sekaligus paman dari Sanjaya. Persahabatan ini pula yang mendorong
Tarusbawa mengambil Sanjaya menjadi menantunya. Bratasenawa alias Sanna atau
Sena digulingkan dari tahta Galuh oleh Purbasora dalam tahun 716 M. Purbasora
adalah cucu Wretikandayun dari putera sulungnya, Batara Danghyang Guru
Sempakwaja, pendiri kerajaan Galunggung. Sedangkan Sena adalah cucu
Wretikandayun dari putera bungsunya, Mandiminyak, raja Galuh kedua (702-709 M).
Sebenarnya Purbasora dan Sena adalah saudara
satu ibu karena hubungan gelap antara Mandiminyak dengan istri Sempakwaja.
Tokoh Sempakwaja tidak dapat menggantikan kedudukan ayahnya menjadi Raja Galuh
karena ompong. Sementara, seorang raja tak boleh memiliki cacat jasmani. Karena
itulah, adiknya yang bungsu yang mewarisi tahta Galuh dari Wretikandayun. Tapi,
putera Sempakwaja merasa tetap berhak atas tahta Galuh. Lagipula asal-usul Raja
Sena yang kurang baik telah menambah hasrat Purbasora untuk merebut tahta Galuh
dari Sena.
Dengan bantuan pasukan dari mertuanya, Raja
Indraprahasta, sebuah kerajaan di daerah Cirebon sekarang, Purbasora melancarkan perebutan
tahta Galuh. Sena akhirnya melarikan diri ke Kalingga, ke kerajaan nenek isterinya, Maharani
Shima.
Sanjaya dan Balangantrang
Sanjaya, anak Sannaha saudara perempuan Sena,
berniat menuntut balas terhadap keluarga Purbasora. Untuk itu ia meminta
bantuan Tarusbawa, sahabat Sena. Hasratnya dilaksanakan setelah menjadi Raja
Sunda yang memerintah atas nama isterinya.
Sebelum itu ia telah menyiapkan pasukan
khusus di daerah Gunung Sawal atas bantuan Rabuyut Sawal, yang juga sahabat
baik Sena. Pasukan khusus ini langsung dipimpin Sanjaya, sedangkan pasukan
Sunda dipimpin Patih Anggada. Serangan dilakukan malam hari dengan diam-diam
dan mendadak. Seluruh keluarga Purbasora gugur. Yang berhasil meloloskan diri
hanyalah menantu Purbasora, yang menjadi Patih Galuh, bersama segelintir
pasukan.
Patih itu bernama Bimaraksa yang lebih
dikenal dengan Ki Balangantrang karena ia merangkap sebagai
senapati kerajaan. Balangantrang ini juga cucu Wretikandayun dari putera kedua
bernama Resi Guru Jantaka atau Rahyang Kidul, yang tak bisa menggantikan
Wretikandayun karena menderita "kemir" atau hernia. Balangantrang
bersembunyi di kampung Gègèr Sunten dan dengan diam-diam menghimpun kekuatan
anti Sanjaya. Ia mendapat dukungan dari raja-raja di daerah Kuningan dan juga
sisa-sisa laskar Indraprahasta, setelah kerajaan itu juga dilumatkan oleh
Sanjaya sebagai pembalasan karena dulu membantu Purbasora menjatuhkan Sena.
Sanjaya mendapat pesan dari Sena, bahwa
kecuali Purbasora, anggota keluarga Keraton Galuh lainnya harus tetap
dihormati. Sanjaya sendiri tidak berhasrat menjadi penguasa Galuh. Ia melalukan
penyerangan hanya untuk menghapus dendam ayahnya. Setelah berhasil mengalahkan
Purbasora, ia segera menghubungi uwaknya, Sempakwaja, di Galunggung dan meminta
beliau agar Demunawan, adik Purbasora, direstui menjadi penguasa Galuh. Akan
tetapi Sempakwaja menolak permohonan itu karena takut kalau-kalau hal tersebut
merupakan muslihat Sanjaya untuk melenyapkan Demunawan.
Sanjaya sendiri tidak bisa menghubungi
Balangantrang karena ia tak mengetahui keberadaannya. Akhirnya Sanjaya terpaksa
mengambil hak untuk dinobatkan sebagai Raja Galuh. Ia menyadari bahwa
kehadirannya di Galuh kurang disenangi. Selain itu sebagai Raja Sunda ia
sendiri harus berkedudukan di Pakuan. Untuk pimpinan pemerintahan di Galuh ia
mengangkat Premana Dikusuma, cucu Purbasora. Premana Dikusuma saat itu
berkedudukan sebagai raja daerah. Dalam usia 43 tahun (lahir tahun 683 M), ia
telah dikenal sebagai raja resi karena ketekunannya mendalami agama dan bertapa
sejak muda. Ia dijuluki Bagawat Sajalajaya.
Premana, Pangreyep dan Tamperan
Penunjukkan Premana oleh Sanjaya cukup
beralasan karena ia cucu Purbasora. Selain itu, isterinya, Naganingrum, adalah
anak Ki Balangantrang. Jadi suami istri itu mewakili keturunan Sempakwaja dan
Jantaka, putera pertama dan kedua Wretikandayun.
Pasangan Premana dan Naganingrum sendiri
memiliki putera bernama Surotama alias Manarah (lahir 718 M, jadi ia baru
berusia 5 tahun ketika Sanjaya menyerang Galuh). Surotama atau Manarah dikenal
dalam literatur Sunda klasik sebagai Ciung Wanara. Kelak di kemudian hari, Ki
Bimaraksa alias Ki Balangantrang, buyut dari ibunya, yang akan mengurai kisah
sedih yang menimpa keluarga leluhurnya dan sekaligus menyiapkan Manarah untuk
melakukan pembalasan.
Untuk mengikat kesetiaan Premana Dikusumah
terhadap pemerintahan pusat di Pakuan, Sanjaya menjodohkan Raja Galuh ini
dengan Dewi Pangrenyep, puteri Anggada, Patih Sunda. Selain itu Sanjaya menunjuk
puteranya, Tamperan, sebagai Patih Galuh sekaligus memimpin
"garnizun" Sunda di ibukota Galuh.
Premana Dikusumah menerima kedudukan Raja
Galuh karena terpaksa keadaan. Ia tidak berani menolak karena Sanjaya memiliki
sifat seperti Purnawarman, baik hati terhadap raja bawahan yang setia kepadanya
dan sekaligus tak mengenal ampun terhadap musuh-musuhnya. Penolakan Sempakwaja
dan Demunawan masih bisa diterima oleh Sanjaya karena mereka tergolong angkatan
tua yang harus dihormatinya.
Kedudukan Premana serba sulit, ia sebagai
Raja Galuh yang menjadi bawahan Raja Sunda yang berarti harus tunduk kepada
Sanjaya yang telah membunuh kakeknya. Karena kemelut seperti itu, maka ia lebih
memilih meninggalkan istana untuk bertapa di dekat perbatasan Sunda sebelah timur
Citarum dan sekaligus juga meninggalkan istrinya, Pangrenyep. Urusan
pemerintahan diserahkannya kepada Tamperan, Patih Galuh yang sekaligus menjadi
"mata dan telinga" Sanjaya. Tamperan mewarisi watak buyutnya,
Mandiminyak yang senang membuat skandal. Ia terlibat skandal dengan Pangrenyep,
istri Premana, dan membuahkan kelahiran Kamarasa alias Banga (723 M).
Skandal itu terjadi karena beberapa alasan,
pertama Pangrenyep pengantin baru berusia 19 tahun dan kemudian ditinggal suami
bertapa; kedua keduanya berusia sebaya dan telah berkenalan sejak lama di
Keraton Pakuan dan sama-sama cicit Maharaja Tarusbawa; ketiga mereka sama-sama
merasakan derita batin karena kehadirannya sebagai orang Sunda di Galuh kurang
disenangi.
Untuk menghapus jejak Tamperan mengupah
seseorang membunuh Premana dan sekaligus diikuti pasukan lainnya sehingga
pembunuh Premana pun dibunuh pula. Semua kejadian ini rupanya tercium oleh
senapati tua Ki Balangantrang.
Tamperan sebagai raja
Dalam tahun 732 M Sanjaya mewarisi tahta
Kerajaan Mataram dari
orangtuanya. Sebelum ia meninggalkan kawasan Jawa Barat, ia mengatur pembagian
kekuasaan antara puteranya, Tamperan, dan Resi Guru Demunawan. Sunda dan Galuh
menjadi kekuasaan Tamperan, sedangkan Kerajaan Kuningan dan Galunggung
diperintah oleh Resi Guru Demunawan, putera bungsu Sempakwaja.
Demikianlah Tamperan menjadi penguasa
Sunda-Galuh melanjutkan kedudukan ayahnya dari tahun 732 - 739 M. Sementara itu
Manarah alias Ciung Wanara secara diam-diam menyiapkan rencana perebutan tahta
Galuh dengan bimbingan buyutnya, Ki Balangantrang, di Geger Sunten. Rupanya
Tamperan lalai mengawasi anak tirinya ini yang ia perlakukan seperti anak
sendiri.
Sesuai dengan rencana Balangantrang,
penyerbuan ke Galuh dilakukan siang hari bertepatan dengan pesta sabung ayam.
Semua pembesar kerajaan hadir, termasuk Banga. Manarah bersama anggota
pasukannya hadir dalam gelanggang sebagai penyabung ayam. Balangantrang
memimpin pasukan Geger Sunten menyerang keraton.
Kudeta itu berhasil dalam waktu singkat
seperti peristiwa tahun 723 ketika Manarah berhasil menguasai Galuh dalam tempo
satu malam. Raja dan permaisuri Pangrenyep termasuk Banga dapat ditawan di
gelanggang sabung ayam. Banga kemudian dibiarkan bebas. Pada malam harinya ia
berhasil membebaskan Tamperan dan Pangrenyep dari tahanan.
Akan tetapi hal itu diketahui oleh pasukan
pengawal yang segera memberitahukannya kepada Manarah. Terjadilah pertarungan
antara Banga dan Manarah yang berakhir dengan kekalahan Banga. Sementara itu
pasukan yang mengejar raja dan permaisuri melepaskan panah-panahnya di dalam
kegelapan sehingga menewaskan Tamperan dan Pangrenyep.
Manarah dan Banga
Berita kematian Tamperan didengar oleh
Sanjaya yang ketika itu memerintah di Mataram (Jawa Tengah), yang kemudian dengan pasukan besar
menyerang purasaba Galuh. Namun Manarah telah menduga itu sehingga ia telah
menyiapkan pasukan yang juga didukung oleh sisa-sisa pasukan Indraprahasta yang
ketika itu sudah berubah nama menjadi Wanagiri, dan raja-raja di daerah
Kuningan yang pernah dipecundangi Sanjaya.
Perang besar sesama keturunan Wretikandayun
itu akhirnya bisa dilerai oleh Raja Resi Demunawan (lahir 646 M, ketika itu
berusia 93 tahun). Dalam perundingan di keraton Galuh dicapai kesepakatan:
Galuh diserahkan kepada Manarah dan Sunda kepada Banga. Demikianlah lewat
perjanjian Galuh tahun 739 ini, Sunda dan Galuh yang selama periode 723 - 739
berada dalam satu kekuasan terpecah kembali. Dalam perjanjian itu ditetapkan
pula bahwa Banga menjadi raja bawahan. Meski Banga kurang senang, tetapi ia
menerima kedudukan itu. Ia sendiri merasa bahwa ia bisa tetap hidup atas
kebaikan hati Manarah.
Untuk memperteguh perjanjian, Manarah dan
Banga dijodohkan dengan kedua cicit Demunawan. Manarah sebagai penguasa Galuh
bergelar Prabu Jayaprakosa Mandaleswara Salakabuana memperistri Kancanawangi.
Banga sebagai Raja Sunda bergelar Prabu Kretabuana Yasawiguna Aji Mulya dan
berjodoh dengan Kancanasari, adik Kancanawangi.
Keturunan Sunda dan Galuh selanjutnya
Naskah tua dari kabuyutan Ciburuy,
Bayongbong, Garut, yang ditulis pada abad ke-13 atau ke-14 memberitakan bahwa
Rakeyan Banga pernah membangun parit Pakuan. Hal ini dilakukannya sebagai
persiapan untuk mengukuhkan diri sebagai raja yang merdeka. Ia harus berjuang
20 tahun sebelum berhasil menjadi penguasa yang diakui di sebelah barat Citarum
dan lepas dari kedudukan sebagi raja bawahan Galuh. Ia memerintah 27 tahun
lamanya (739 - 766).
Manarah di Galuh memerintah sampai tahun 783.
Ia dikaruniai umur panjang. Dalam tahun tersebut ia melakukan manurajasuniya,
mengundurkan diri dari tahta kerajaan untuk melakukan tapa sampai akhir hayat,
dan baru wafat tahun 798 dalam usia 80 tahun.
Dalam naskah-naskah babad, posisi Manarah dan
Banga ini dikacaukan. Tidak saja dalam hal usia, di mana Banga dianggap lebih
tua. Tapi, juga dalam penempatan mereka sebagai raja. Dalam naskah-naskah tua,
silsilah raja-raja Pakuan selalu dimulai dengan tokoh Banga. Kekacauan silsilah
dan penempatan posisi itu mulai tampak dalam naskah Carita Waruga Guru yang
ditulis pada pertengahan abad 18.
Kekeliruan paling menyolok dalam babad ialah
kisah Banga yang dianggap sebagai pendiri kerajaan Majapahit. Padahal, Majapahit baru didirikan Raden Wijaya dalam tahun 1293, 527 tahun setelah
Banga wafat. Kekalutan itu dapat dibandingkan dengan kisah pertemuan Walangsungsang
dengan Sayidina Ali
yang masa hidupnya berselisih 8 1/2 abad.
Keturunan Manarah putus hanya sampai cicitnya
yang bernama Prabulinggabumi (813 - 852). Tahta Galuh diserahkan kepada suami
adiknya yaitu Rakeyan Wuwus alias Prabu Gajah Kulon (819 - 891), cicit Banga
yang menjadi Raja Sunda ke-8 (dihitung dari Tarusbawa). Sejak tahun 852 M kedua
kerajaan pecahan Tarumanagara itu diperintah oleh keturunan Banga sebagai
akibat perkawinan di antara para kerabat keraton: Sunda-Galuh-Kuningan
(Saunggalah).
Hubungan Sunda-Galuh dan Sriwijaya
Sri Jayabupati yang prasastinya telah
dibicarakan di muka adalah Raja Sunda yang ke-20. Ia putra Sanghiyang Ageng
(1019 - 1030 M). Ibunya seorang puteri Sriwijaya dan masih kerabat dekat Raja Wurawuri.
Adapun permaisuri Sri Jayabupati adalah puteri dari Dharmawangsa, raja Kerajaan Medang, dan adik Dewi Laksmi isteri Airlangga. Karena pernikahan tersebut Jayabupati
mendapat anugerah gelar dari mertuanya, Dharmawangsa. Gelar itulah yang
dicantumkannya dalam prasasti Cibadak.
Raja Sri Jayabupati pernah mengalami
peristiwa tragis. Dalam kedudukannya sebagai Putera Mahkota Sunda keturunan
Sriwijaya dan menantu Dharmawangsa, ia harus menyaksikan permusuhan yang makin
menjadi-jadi antara Sriwijaya dengan mertuanya, Dharmawangsa. Pada puncak
krisis ia hanya menjadi penonton dan terpaksa tinggal diam dalam kekecewaan
karena harus "menyaksikan" Dharmawangsa diserang dan dibinasakan oleh
Raja Wurawuri atas dukungan Sriwijaya. Ia diberi tahu
akan terjadinya serbuan itu oleh pihak Sriwijaya, akan tetapi ia dan ayahnya
diancam agar bersikap netral dalam hal ini. Serangan Wurawuri yang dalam
Prasasti Calcutta (disimpan di sana) disebut pralaya itu terjadi tahun 1019 M.
Daftar raja-raja Sunda
Di bawah ini adalah urutan raja-raja Sunda sampai Sri
Jayabupati yang berjumlah 20 orang :
- Maharaja Tarusbawa (669 - 723 M)
- Sanjaya Harisdarma, cucu-menantu no. 1,(723-732 M).
- Tamperan Barmawijaya (732-739 M).
- Rakeyan Banga (739-766 M).
- Rakeyan Medang Prabu Hulukujang (766-783 M).
- Prabu Gilingwesi, menantu no. 5,(783-795 M).
- Pucukbumi Darmeswara, menantu no. 6, (795-819 M).
- Prabu Gajah Kulon Rakeyan Wuwus (819-891 M).
- Prabu Darmaraksa (adik-ipar no. 8, 891 - 895 M).
- Windusakti Prabu Dewageng (895 - 913 M).
- Rakeyan Kemuning Gading Prabu Pucukwesi (913-916 M).
- Rakeyan Jayagiri Prabu Wanayasa, menantu no. 11, (916-942 M).
- Prabu Resi Atmayadarma Hariwangsa (942-954 M).
- Limbur Kancana,putera no. 11,(954-964 M).
- Prabu Munding Ganawirya (964-973 M).
- Prabu Jayagiri Rakeyan Wulung Gadung (973 - 989 M).
- Prabu Brajawisesa (989-1012 M).
- Prabu Dewa Sanghyang (1012-1019M).
- Prabu Sanghyang Ageng (1019 - 1030 M).
- Prabu Detya Maharaja Sri Jayabupati (1030-1042 M)
Kecuali Tarusbawa (no. 1), Banga (no. 4) - Darmeswara
(no. 7) yang hanya berkuasa di kawasan sebelat barat Citarum, raja-raja yang
lainnya berkuasa di Sunda dan Galuh.
Sumber :
·
Ayatrohaedi. 2005. Sundakala: Cuplikan Sejarah
Sunda Berdasarkan Naskah-naskah "Panitia Wangsakerta" Cirebon.
Pustaka Jaya, Jakarta. ISBN 979-419-330-5
·
Saleh Danasasmita. 2003. Nyukcruk Sajarah Pakuan
Pajajaran jeung Prabu Siliwangi. Kiblat Buku Utama, Bandung. ISBN
·
Yoseph Iskandar.
1997. Sejarah Jawa Barat: Yuganing Rajakawasa. Geger Sunten, Bandung.
KERAJAAN PAKUAN PAJAJARAN
Pakuan Pajajaran atau Pakuan (Pakwan) atau Pajajaran adalah
pusat pemerintahan Kerajaan Sunda,
sebuah kerajaan yang selama beberapa abad (abad ke-7 hingga abad ke-16) pernah berdiri di wilayah barat pulau Jawa. Lokasi Pakuan Pajajaran berada di
wilayah Bogor, Jawa Barat sekarang.
Pengantar
Hampir secara umum penduduk Bogor
mempunyai keyakinan bahwa Kota Bogor mempunyai hubungan lokatif dengan Kota
Pakuan, ibukota Pajajaran. Asal-usul dan arti Pakuan terdapat dalam berbagai
sumber. Di bawah ini adalah hasil penelusuran dari sumber-sumber tersebut
berdasarkan urutan waktu:
- Naskah Carita Waruga Guru (1750-an). Dalam naskah berhasa Sunda kuno ini diterangkan bahwa nama Pakuan Pajajaran didasarkan bahwa di lokasi tersebut banyak terdapat pohon Pakujajar.
- K.F. Holle (1869). Dalam tulisan berjudul De Batoe Toelis te Buitenzorg (Batutulis di Bogor), Holle menyebutkan bahwa di dekat Kota Bogor terdapat kampung bernama Cipaku, beserta sungai yang memiliki nama yang sama. Di sana banyak ditemukan pohon paku. Jadi menurut Holle, nama Pakuan ada kaitannya dengan kehadiran Cipaku dan pohon paku. Pakuan Pajajaran berarti pohon paku yang berjajar ("op rijen staande pakoe bomen").
- G.P. Rouffaer (1919) dalam Encyclopedie van Niederlandsch Indie edisi Stibbe tahun 1919. Pakuan mengandung pengertian "paku", akan tetapi harus diartikan "paku jagat" (spijker der wereld) yang melambangkan pribadi raja seperti pada gelar Paku Buwono dan Paku Alam. "Pakuan" menurut Fouffaer setara dengan "Maharaja". Kata "Pajajaran" diartikan sebagai "berdiri sejajar" atau "imbangan" (evenknie). Yang dimaksudkan Rouffaer adalah berdiri sejajar atau seimbang dengan Majapahit. Sekalipun Rouffaer tidak merangkumkan arti Pakuan Pajajaran, namun dari uraiannya dapat disimpulkan bahwa Pakuan Pajajaran menurut pendapatnya berarti "Maharaja yang berdiri sejajar atau seimbang dengan (Maharaja) Majapahit". Ia sependapat dengan Hoesein Djajaningrat (1913) bahwa Pakuan Pajajaran didirikan tahun 1433.
- R. Ng. Poerbatjaraka (1921). Dalam tulisan De Batoe-Toelis bij Buitenzorg (Batutulis dekat Bogor) ia menjelaskan bahwa kata "Pakuan" mestinya berasal dari bahasa Jawa kuno "pakwwan" yang kemudian dieja "pakwan" (satu "w", ini tertulis pada Prasasti Batutulis). Dalam lidah orang Sunda kata itu akan diucapkan "pakuan". Kata "pakwan" berarti kemah atau istana. Jadi, Pakuan Pajajaran, menurut Poerbatjaraka, berarti "istana yang berjajar"(aanrijen staande hoven).
- H. Ten Dam (1957). Sebagai Insinyur Pertanian, Ten Dam ingin meneliti kehidupan sosial-ekonomi petani Jawa Barat dengan pendekatan awal segi perkembangan sejarah. Dalam tulisannya, Verkenningen Rondom Padjadjaran (Pengenalan sekitar Pajajaran), pengertian "Pakuan" ada hubungannya dengan "lingga" (tonggak) batu yang terpancang di sebelah prasasti Batutulis sebagai tanda kekuasaan. Ia mengingatkan bahwa dalam Carita Parahyangan disebut-sebut tokoh Sang Haluwesi dan Sang Susuktunggal yang dianggapnya masih mempunyai pengertian "paku".
Ia berpendapat bahwa "pakuan"
bukanlah nama, melainkan kata benda umum yang berarti ibukota (hoffstad) yang
harus dibedakan dari keraton. Kata "pajajaran" ditinjaunya
berdasarkan keadaan topografi. Ia merujuk laporan Kapiten Wikler (1690) yang
memberitakan bahwa ia melintasi istana Pakuan di Pajajaran yang terletak antara
Sungai Besar dengan Sungai Tanggerang (disebut juga
Ciliwung dan Cisadane). Ten Dam menarik kesimpulan bahwa nama
"Pajajaran" muncul karena untuk beberapa kilometer Ciliwung dan
Cisadane mengalir sejajar. Jadi, Pakuan Pajajaran dalam pengertian Ten Dam
adalah Pakuan di Pajajaran atau "Dayeuh Pajajaran".
Sebutan "Pakuan",
"Pajajaran", dan "Pakuan Pajajaran" dapat ditemukan dalam Prasasti Batutulis
(nomor 1 & 2), sedangkan nomor 3 bisa dijumpai pada Prasasti Kebantenan
di [[Bekasi].
Dalam naskah Carita Parahiyangan
ada kalimat berbunyi "Sang Susuktunggal, inyana nu nyieunna palangka
Sriman Sriwacana Sri Baduga Maharajadiraja Ratu Haji di Pakwan Pajajaran nu
mikadatwan Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati, inyana pakwan Sanghiyang
Sri Ratu Dewata" (Sang Susuktunggal, dialah yang membuat tahta Sriman
Sriwacana (untuk) Sri Baduga Maharaja Ratu Penguasa di Pakuan Pajajaran yang
bersemayam di keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati, yaitu pakuan
Sanghiyang Sri Ratu Dewata).
Sanghiyang Sri Ratu Dewata adalah gelar lain
untuk Sri Baduga. Jadi yang disebut "pakuan" itu adalah
"kadaton" yang bernama Sri Bima dan seterunya. "Pakuan"
adalah tempat tinggal untuk raja, biasa disebut keraton, kedaton atau istana.
Jadi tafsiran Poerbatjaraka lah yang sejalan dengan arti yang dimaksud dalam
Carita Parahiyangan, yaitu "istana yang berjajar". Tafsiran tersebut
lebih mendekati lagi bila dilihat nama istana yang cukup panjang tetapi terdiri
atas nama-nama yang berdiri sendiri. Diperkirakan ada lima (5) bangunan keraton
yang masing-masing bernama: Bima, Punta, Narayana, Madura dan Suradipati.
Inilah mungkin yang biasa disebut dalam peristilahan klasik "panca
persada" (lima keraton). Suradipati adalah nama keraton induk. Hal ini
dapat dibandingkan dengan nama-nama keraton lain, yaitu Surawisesa di Kawali, Surasowan di Banten dan
Surakarta di Jayakarta pada masa silam.
Karena nama yang panjang itulah mungkin orang
lebih senang meringkasnya, Pakuan Pajajaran atau Pakuan atau Pajajaran. Nama
keraton dapat meluas menjadi nama ibukota dan akhirnya menjadi nama negara.
Contohnya : Nama keraton Surakarta Hadiningrat dan Ngayogyakarta
Hadiningrat, yang meluas menjadi nama ibukota dan nama daerah. Ngayogyakarta
Hadiningrat dalam bahasa sehari-hari cukup disebut Yogya.
Pendapat Ten Dam (Pakuan = ibukota ) benar
dalam penggunaan, tetapi salah dari segi semantik. Dalam laporan Tome Pires (1513)
disebutkan bahwa bahwa ibukota kerajaan Sunda itu bernama "Dayo"
(dayeuh) dan terletak di daerah pegunungan, dua hari perjalanan dari pelabuhan Kalapa di muara Ciliwung.
Nama "Dayo" didengarnya dari penduduk atau pembesar Pelabuhan Kalapa.
Jadi jelas, orang Pelabuhan Kalapa menggunakan kata "dayeuh" (bukan
"pakuan") bila bermaksud menyebut ibukota. Dalam percakapan
sehari-hari, digunakan kata "dayeuh", sedangkan dalam kesusastraan
digunakan "pakuan" untuk menyebut ibukota kerajaan.
Untuk praktisnya, dalam tulisan berikut
digunakan "Pakuan" untuk nama ibukota dan "Pajajaran" untuk
nama negara, seperti kebiasaan masyarakat Jawa Barat sekarang ini.
Lokasi Pakuan
Naskah kuno
Dalam kropak (tulisan pada lontar atau daun
nipah) yang diberi nomor 406 di Mueseum Pusat terdapat petunjuk yang mengarah
kepada lokasi Pakuan. Kropak 406 sebagian telah diterbitkan khusus dengan nama
Carita Parahiyangan. Dalam bagian yang belum diterbitkan (biasa disebut fragmen
K 406) terdapat keterangan mengenai kisah pendirian keraton Sri Bima, Punta,
Narayana Madura Suradipati. "Di inya urut kadatwan, ku Bujangga Sedamanah
ngaran Sri Kadatwan Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Anggeus ta tuluy
diprebolta ku Maharaja Tarusbawa deung Bujangga Sedamanah. Disiar ka hulu
Cipakancilan. Katimu Bagawat Sunda Mayajati. Ku Bujangga Sedamanah dibaan ka
hareupeun Maharaja Tarusbawa”.
(Di sanalah bekas keraton yang oleh Bujangga
Sedamanah diberi nama Sri Kadatuan Bima Punta Narayana Madura Suradipati.
Setelah selesai [dibangun] lalu diberkati oleh Maharaja Tarusbawa dan Bujangga
Sedamanah. Dicari ke hulu Cipakancilan. Ditemukanlah Bagawat Sunda Majayati.
Oleh Bujangga Sedamanah dibawa ke hadapan Maharaja Tarusbawa).
Dari sumber kuno itu dapat diketahui bahwa
letak keraton tidak akan terlalu jauh dari "hulu Cipakancilan". Hulu
Cipakancilan terletak dekat lokasi kampung Lawang Gintung yang sekarang, sebab
ke bagian hulu sungai ini disebut Ciawi. Dari naskah itu pula kita mengetahui
bahwa sejak jaman Pajajaran sungai itu sudah bernama Cipakancilan. Hanyalah
juru pantun kemudian menterjemahkannya menjadi Cipeucang. Dalam bahasa Sunda
kuno dan Jawa kuno kata "kancil" memang berarti "peucang".
Berita-berita VOC
Laporan tertulis pertama mengenai lokasi
Pakuan diperoleh dari catatan perjalan ekspedisi pasukan VOC
("Verenigde Oost Indische Compagnie"/Perserikatan Kumpeni Hindia
Timur) yang oleh bangsa kita lumrah disebut Kumpeni. Karena Inggris pun memiliki perserikatan yang serupa
dengan nama EIC ("East India Company"), maka VOC sering disebut
Kumpeni Belanda dan EIC disebut Kumpeni Inggris.
Setelah mencapai persetujuan dengan Cirebon (1681), Kumpeni Belanda menandatangani
persetujuan dengan Banten (1684). Dalam persetujuan itu ditetapkan
Cisadane menjadi batas kedua belah pihak.
Laporan Scipio
Dua catatan penting dari ekspedisi Scipio
adalah:
- Catatan perjalanan antara Parung Angsana (Tanah Baru) menuju Cipaku dengan melalui Tajur, kira-kira lokasi Pabrik "Unitex" sekarang. Catatannya adalah sbb.: "Jalan dan lahan antara Parung Angsana dengan Cipaku adalah lahan yang bersih dan di sana banyak sekali pohon buah-buahan, tampaknya pernah dihuni".
- Lukisan jalan setelah ia melintasi Ciliwung. Ia mencatat "Melewati dua buah jalan dengan pohon buah-buahan yang berderet lurus dan 3 buah runtuhan parit". Dari anggota pasukannya, Scipio memperoleh penerangan bahwa semua itu peninggalan dari Raja Pajajaran.
Dari perjalanannya disimpulkan bahwa jejak
Pajajaran yang masih bisa memberikan "kesan wajah" kerajaan hanyalah
"Situs Batutulis".
Penemuan Scipio segera dilaporkan oleh
Gubernur Jenderal Joanes Camphuijs kepada atasannya di Belanda. Dalam laporan
yang ditulis tanggal 23 Desember 1687, ia memberitakan bahwa menurut
kepercayaan penduduk, "dat hetselve paleijs en specialijck de verheven
zitplaets van den getal tijgers bewaakt ent bewaart wort" (bahwa istana
tersebut terutama sekali tempat duduk yang ditinggikan untuk raja
"Jawa" Pajajaran sekarang masih berkabut dan dijaga serta dirawat
oleh sejumlah besar harimau).
Rupanya laporan penduduk Parung Angsana ada
hubungannya dengan seorang anggota ekspedisi yang diterkam harimau di dekat
Cisadane pada malam tanggal 28 Agustus 1687. Diperkirakan Situs Batutulis
pernah menjadi sarang harimau dan ini telah menumbuhkan khayalan adanya
hubungan antara Pajajaran yang sirna dengan keberadaan harimau.
Laporan Adolf Winkler (1690)
Laporan Scipio menggugah para pimpinan
Kumpeni Belanda. Tiga tahun kemudian dibentuk kembali team ekspedisi dipimpin
oleh Kapiten Winkler. Pasukan Winkler terdiri dari 16 orang kulit putih dan 26
orang Makasar serta seorang ahli ukur.
Perjalanan ringkas ekspedisi Winkler adalah
sebagai berikut :
Seperti Scipio, Winkler bertolak dari Kedung
Halang lewat Parung Angsana (Tanah Baru) lalu ke selatan. Ia melewati jalan
besar yang oleh Scipio disebut "twee lanen". Hal ini tidak
bertentangan Scipio. Winkler menyebutkan jalan tersebut sejajar dengan aliran
Ciliwung lalu membentuk siku-siku. Karena itu ia hanya mencatat satu jalan.
Scipio menganggap jalan yang berbelok tajam ini sebagai dua jalan yang bertemu.
Setelah melewati sungai Jambuluwuk (Cibalok)
dan melintasi "parit Pakuan yang dalam dan berdinding tegak ("de
diepe dwarsgragt van Pakowang") yang tepinya membentang ke arah Ciliwung
dan sampai ke jalan menuju arah tenggara 20 menit setelah arca. Sepuluh menit
kemudian (pukul 10.54) sampai di lokasi kampung Tajur Agung (waktu itu sudah
tidak ada). Satu menit kemudian, ia sampai ke pangkal jalan durian yang
panjangnya hanya 2 menit perjalanan dengan berkuda santai.
Bila kembali ke catatan Scipio yang
mengatakan bahwa jalan dan lahan antara Parung Angsana dengan Cipaku itu bersih
dan di mana-mana penuh dengan pohon buah-buhan, maka dapat disimpulkan bahwa
kompleks "Unitex" itu pada jaman Pajajaran merupakan "Kebun
Kerajaan". Tajur adalah kata Sunda kuno yang berarti "tanam, tanaman
atau kebun". Tajur Agung sama artinya dengan "Kebon Gede atau Kebun
Raya". Sebagai kebun kerajaan, Tajur Agung menjadi tempat bercengkerama
keluarga kerajaan. Karena itu pula penggal jalan pada bagian ini ditanami pohon
durian pada kedua sisinya.
- Dari Tajur Agung Winkler menuju ke daerah Batutulis menempuh jalan yang kelak (1709) dilalui Van Riebeeck dari arah berlawanan. Jalan ini menuju ke gerbang kota (lokasi dekat pabrik paku "Tulus Rejo" sekarang). Di situlah letak Kampung Lawang Gintung pertama sebelum pindah ke "Sekip" dan kemudian lokasi sekarang (bernama tetap Lawang Gintung). Jadi gerbang Pakuan pada sisi ini ada pada penggal jalan di Bantar Peuteuy (depan kompleks perumahan LIPI). Dulu di sana ada pohon Gintung.
- Di Batutulis Winkler menemukan lantai atau jalan berbatu yang sangat rapi. Menurut penjelasan para pengantarnya, di situlah letak istana kerajaan ("het conincklijke huijs soude daerontrent gestaen hebben"). Setelah diukur, lantai itu membentang ke arah paseban tua. Di sana ditemukan tujuh (7) batang pohon beringin.
- Di dekat jalan tersebut Winkler menemukan sebuah batu besar yang dibentuk secara indah. Jalan berbatu itu terletak sebelum Winkler tiba di situs Bautulis, dan karena dari batu bertulis perjalanan dilanjutkan ke tempat arca ("Purwa Galih"), maka lokasi jalan itu harus terletak di bagian utara tempat batu bertulis (prasasti). Antara jalan berbatu dengan batu besar yang indah dihubungkan oleh "Gang Amil". Lahan di bagian utara Gang Amil ini bersambung dengan Bale Kambang (rumah terapung). Bale kambang ini adalah untuk bercengkrama raja. Contoh bale kambang yang masih utuh adalah seperti yang terdapat di bekas Pusat Kerajaan Klungkung di Bali.
Dengan indikasi tersebut, lokasi keraton
Pajajaran mesti terletak pada lahan yang dibatasi Jalan Batutulis (sisi barat),
Gang Amil (sisi selatan), bekas parit yang sekarang dijadikan perumahan (sisi
timur) dan "benteng batu" yang ditemukan Scipio sebelum sampai di
tempat prasasti (sisi utara). Balekambang terletak di sebelah utara (luar)
benteng itu. Pohon beringinnya mestinya berada dekat gerbang Pakuan di lokasi
jembatan Bondongan sekarang.
o Dari Gang Amil, Winkler memasuki tempat batu
bertulis. Ia memberitakan bahwa "Istana Pakuan" itu dikeliligi oleh
dinding dan di dalamnya ada sebuah batu berisi tulisan sebanyak 8 1/2 baris (Ia
menyebut demikian karena baris ke-9 hanya berisi 6 huruf dan sepasang tanda
penutup).
Yang penting adalah untuk kedua batu itu
Winkler menggunakan kata "stond" (berdiri). Jadi setelah terlantar
selama kira-kira 110 th (sejak Pajajaran burak, bubar atau hancur, oleh pasukan
Banten tahun 1579), batu-batu itu masih
berdiri, masih tetap pada posisi semula.
o Dari tempat prasasti, Winkler menuju ke
tempat arca (umum disebut Purwakalih, 1911 Pleyte masih mencatat nama Purwa
Galih). Di sana terdapat tiga buah patung yang menurut informan Pleyte adalah
patung Purwa Galih, Gelap Nyawang dan Kidang Pananjung. Nama trio ini terdapat
dalam Babad Pajajaran yang ditulis di Sumedang (1816) pada masa bupati Pangeran
Kornel, kemudian disadur dalam bentuk pupuh 1862. Penyadur naskah babad
mengetahui beberapa ciri bekas pusat kerajaan seperti juga penduduk Parung
Angsana dalam tahun 1687 mengetahui hubungan antara "Kabuyutan"
Batutulis dengan kerajaan Pajajaran dan Prabu Siliwangi. Menurut babad ini, "pohon
campaka warna" (sekarang tinggal tunggulnya) terletak tidak jauh dari
alun-alun.
Laporan Abraham van Riebeeck (1703, 1704, 1709)
Abraham adalah putera Joan van Riebeeck
pendiri Capetown di Afrika Selatan. Penjelajahannya di daerah Bogor dan
sekitarnya dilakukan dalam kedudukan sebagai pegawai tinggi Kumpeni. Dua kali
sebagai Inspektur Jenderal dan sekali sebagai Gubernur Jenderal. Kunjungan ke
Pakuan tahun 1703 disertai pula oleh istrinya yang digotong dengan tandu.
Rute perjalanan tahun 1703: Benteng -
Cililitan - Tanjung - Serengseng - Pondok Cina - Depok - Pondok Pucug (Citayam)
- Bojong Manggis (dekat Bojong Gede) - Kedung Halang - Parung Angsana (Tanah
Baru).
Rute perjalanan tahun 1704: Benteng - Tanah
Abang - Karet - Ragunan - Serengseng - Pondok Cina dan seterusnya sama dengan
rute 1703.
Rute perjalanan tahun 1709: Benteng - Tanah
Abang - Karet - Serengseng - Pondok Pucung - Bojong Manggis - Pager Wesi -
Kedung Badak - Panaragan.
Berbeda dengan Scipio dan Winkler, van Riebeeck
selalu datang dari arah Empang. Karena itu ia dapat mengetahui bahwa Pakuan
terletak pada sebuah dataran tinggi. Hal ini tidak akan tampak oleh mereka yang
memasuki Batutulis dari arah Tajur. Yang khusus dari laporan Van Riebeeck
adalah ia selalu menulis tentang "de toegang" (jalan masuk) atau
"de opgang" (jalan naik) ke Pakuan.
Beberapa hal yang dapat diungkapkan dari
ketiga perjalanan Van Riebeeck adalah:
Ø Alun-alun Empang ternyata bekas alun-alun
luar pada jaman Pakuan yang dipisahkan dari benteng Pakuan dengan sebuah parit
yang dalam (sekarang parit ini membentang dari Kampung Lolongok sampai
Cipakancilan).
Ø Tanjakan Bondongan yang sekarang, pada jaman
Pakuan merupakan jalan masuk yang sempit dan mendaki sehingga hanya dapat
dilalui seorang penunggang kuda atau dua orang berjalan kaki.
Ø Tanah rendah di kedua tepi tanjakan Bondongan
dahulu adalah parit-bawah yang terjal dan dasarnya bersambung kepada kaki
benteng Pakuan, d. Jembatan Bondongan yang sekarang, dahulu merupakan pintu
gerbang kota.
Ø Di Belakang benteng Pakuan pada bagian ini
terdapat parit atas yang melingkari pinggir kota Pakuan pada sisi Cisadane.
Pada kunjungan tahun 1704, di seberang
"jalan" sebelah barat tempat patung "Purwa Galih" ia telah
mendirikan pondok peristirahatan ("somerhuijsje") bernama
"Batutulis". Nama ini kemudian melekat menjadi nama tempat di daerah
sekitar prasasti tersebut.
Hasil Penelitian
Prasasti Batutulis sudah mulai diteliti sejak
tahun 1806 dengan pembuatan "cetakan tangan" untuk Universitas Leiden
(Belanda). Upaya pembacaan pertama dilakukan oleh Friederich tahun 1853. Sampai
tahun 1921 telah ada empat orang ahli yang meneliti isinya. Akan tetapi, hanya
C.M. Pleyte yang mencurahkan pada lokasi Pakuan, yang lain hanya mendalami isi
prasasti itu.
Hasil penelitian Pleyte dipublikasikan tahun
1911 (penelitiannya sendiri berlangsung tahun 1903). Dalam tulisannya, Het
Jaartal op en Batoe-Toelis nabij Buitenzorg (Angka tahun pada Batutulis di
dekat Bogor), Pleyte menjelaskan "Waar alle legenden, zoowel als de meer
geloofwaardige historische berichten, het huidige dorpje Batoe-Toelis, als
plaats waar eenmal Padjadjaran's koningsburcht stond, aanwijzen, kwam het er
aleen nog op aan. Naar eenige preciseering in deze te trachten".
( Dalam hal legenda-legenda dan berita-berita
sejarah yang lebih dipercayai menunjuk kampung Batutulis yang sekarang sebagai
tempat puri kerajaan Pajajaran, masalah yang timbul tinggalah menelusuri
letaknya yang tepat ).
Sedikit kotradiksi dari Pleyte adalah pertama
ia menunjuk kampung Batutulis sebagai lokasi keraton, akan tetapi kemudian ia
meluaskan lingkaran lokasinya meliputi seluruh wilayah Kelurahan Batutulis yang
sekarang. Pleyte mengidentikkan puri dengan kota kerajaan dan kadatuan Sri Bima
Narayana Madura Suradipati dengan Pakuan sebagai kota.
Babad Pajajaran melukiskan bahwa Pakuan
terbagi atas "Dalem Kitha" (Jero kuta) dan "Jawi Kitha"
(Luar kuta). Pengertian yang tepat adalah "kota dalam" dan "kota
luar". Pleyte masih menemukan benteng tanah di daerah Jero Kuta yang
membentang ke arah Sukasari pada pertemuan Jalan Siliwangi dengan Jalan
Batutulis.
Peneliti lain seperti Ten Dam menduga letak
keraton di dekat kampung Lawang Gintung (bekas) Asrama Zeni Angkatan Darat.
Suhamir dan Salmun bahkan menunjuk pada lokasi Istana Bogor yang sekarang.
Namun pendapat Suhamir dan Salmun kurang ditunjang data kepurbakalaan dan
sumber sejarah. Dugaannya hanya didasarkan pada anggapan bahwa "Leuwi
Sipatahunan" yang termashur dalam lakon-lakon lama itu terletak pada alur
Ciliwung di dalam Kebun Raya Bogor. Menurut kisah klasih, "leuwi"
(lubuk) itu biasa dipakai bermandi-mandi para puteri penghuni istana. Lalu
ditarik logika bahwa letak istana tentu tak jauh dari "Leuwi
Sipatahunan" itu.
Pantun Bogor mengarah pada lokasi bekas
Asrama Resimen "Cakrabirawa" (Kesatrian) dekat perbatasan kota.
Daerah itu dikatakan bekas Tamansari kerajaan bernama "Mila Kencana".
Namun hal ini juga kurang ditunjang sumber sejarah yang lebih tua. Selain itu,
lokasinya terlalu berdekatan dengan kuta yang kondisi topografinya merupakan
titik paling lemah untuk pertahanan Kota Pakuan. Kota Pakuan dikelilingi oleh
benteng alam berupa tebing-tebing sungai yang terjal di ketiga sisinya. Hanya
bagian tenggara batas kota tersebut berlahan datar. Pada bagian ini pula
ditemukan sisa benteng kota yang paling besar. Penduduk Lawang Gintung yang
diwawancara Pleyte menyebut sisa benteng ini "Kuta Maneuh".
Sebenarnya hampir semua peneliti berpedoman
pada laporan Kapiten Winkler (kunjungan ke Batutulis 14 Juni 1690). Kunci
laporan Winkler tidak pada sebuah "hoff" (istana) yang digunakan
untuk situs prasasti, melainkan pada kata "paseban" dengan tujuh (7)
batang beringin pada lokasi Gang Amil. Sebelum diperbaiki, Gang Amil ini memang
bernuansa kuno dan pada pinggir-pinggirnya banyak ditemukan batu-batu bekas
"balay" yang lama.
Panelitian lanjutan membuktian bahwa benteng
Kota Pakuan meliputi daerah Lawang Saketeng yang pernah dipertanyakan Pleyte.
Menurut Coolsma, Lawang Saketeng berarti "porte brisee, bewaakte in-en
uitgang" (pintu gerbang lipat yang dijaga dalam dan luarnya). Kampung
Lawang Saketeng tidak terletak tepat pada bekas lokasi gerbang.
Benteng pada tempat ini terletak pada tepi
Kampung Cincaw yang menurun terjal ke ujung lembah Cipakancilan, kemudian
bersambung dengan tebing Gang Beton di sebelah Bioskop Rangga Gading. Setelah
menyilang Jalan Suryakencana, membelok ke tenggara sejajar dengan jalan
tersebut. Deretan pertokoan antara Jalan Suryakencana dengan Jalan Roda di
bagian in sampai ke Gardu Tinggi, sebenarnya didirikan pada bekas pondasi
benteng.
Selanjutnya benteng tersebut mengikuti puncak
lembah Ciliwung. Deretan kios dekat simpangan Jalan Siliwangi - Jalan Batutulis
juga didirikan pada bekas fondasi benteng. Di bagian ini benteng tersebut
bertemu dengan benteng Kota Dalam yang membentang sampai ke Jero Kuta Wetan dan
Dereded. Benteng luar berlanjut sepanjang puncak lereng Ciliwung melewati
kompleks perkantoran PAM, lalu menyilang Jalan Raya Pajajaran, pada perbatasan
kota, membelok lurus ke barat daya menembus Jalan Siliwangi (di sini dahulu
terdapat gerbang), terus memanjang sampai Kampung Lawang Gintung.
Di Kampung Lawang Gintung, benteng ini
bersambung dengan "benteng alam" yaitu puncak tebing Cipaku yang
curam sampai di lokasi Stasiun Kereta Api Batutulis. Dari sini, batas Kota
Pakuan membentang sepanjang jalur rel kereta api sampai di tebing Cipakancilan
setelah melewati lokasi Jembatan Bondongan. Tebing Cipakancilan memisahkan
"ujung benteng" dengan "benteng" pada tebing Kampung
Cincaw.
Pemerintahan di Pakuan Pajajaran
Kejatuhan Prabu Kertabumi (Brawijaya V) Raja Majapahit tahun 1478
telah mempengaruhi jalan sejarah di Jawa Barat. Rombongan pengungsi dari
kerabat keraton Majapahit akhirnya ada juga yang sampai di Kawali. Salah
seorang diantaranya ialah Raden Baribin saudara seayah Prabu Kertabumi. Ia
diterima dengan baik oleh Prabu Dewa Niskala bahkan kemudian dijodohkan dengan
Ratna Ayu Kirana (puteri bungsu Dewa Niskala dari salah seorang isterinya),
adik Raden Banyak Cakra (Kamandaka) yang telah jadi raja daerah di Pasir Luhur.
Disamping itu Dewa Niskala sendiri menikahi salah seorang dari wanita pengungsi
yang kebetulan telah bertunangan.
Dalam Carita Parahiyangan
disebutkan "estri larangan ti kaluaran". Sejak peristiwa Bubat,
kerabat keraton Kawali ditabukan berjodoh dengan kerabat keraton Majapahit.
Selain itu, menurut "perundang-undangan" waktu itu, seorang wanita
yang bertunangan tidak boleh menikah dengan laki-laki lain kecuali bila
tunangannya meninggal dunia atau membatalkan pertunangan.
Dengan demikian, Dewa Niskala telah melanggar
dua peraturan sekaligus dan dianggap berdosa besar sebagai raja. Kehebohan pun
tak terelakkan. Susuktunggal (Raja Sunda yang juga besan Dewa Niskala)
mengancam memutuskan hubungan dengan Kawali. Namun, kericuhan dapat dicegah
dengan keputusan, bahwa kedua raja yang berselisih itu bersama-sama
mengundurkan diri. Akhirnya Prabu Dewa Niskala menyerahkan Tahta Kerajaan Galuh
kepada puteranya Jayadewata. Demikian pula dengan Prabu Susuktungal yang
menyerahkan Tahta Kerajaan Sunda kepada menantunya ini (Jayadewata).
Dengan peristiwa yang terjadi tahun 1482
itu, kerajaan warisan Wastu Kencana berada kembali dalam satu tangan.
Jayadewata memutuskan untuk berkedudukan di Pakuan sebagai
"Susuhunan" karena ia telah lama tinggal di sini menjalankan
pemerintahan sehari-hari mewakili mertuanya. Sekali lagi Pakuan menjadi pusat
pemerintahan.
Masa akhir kerajaan Sunda di Pakuan Pajajaran
berlangsung selama 97 tahun, yang secara berturut-turut dipimpin oleh
- Sri Baduga Maharaja (1482 - 1521)
- Surawisesa (1521 - 1535)
- Ratu Dewata (1535 - 1534)
- Ratu Sakti (1543 - 1551)
- Ratu Nilakendra (1551 - 1567)
- Raga Mulya (1567 - 1579)
1). Sri Baduga Maharaja
Zaman Pajajaran diawali oleh pemerintahan Sri
Baduga Maharaja (Ratu Jayadewata) yang memerintah selama 39 tahun
(1482-1521). Pada masa inilah Pakuan mencapai puncak perkembangannya.
Dalam prasasti Batutulis diberitakan
bahwa Sri Baduga dinobatkan dua kali, yaitu yang pertama ketika Jayadewata
menerima Tahta Galuh dari ayahnya (Prabu Dewa Niskala) yang kemudian bergelar
Prabu Guru Dewapranata. Yang kedua ketika ia menerima Tahta Kerajaan Sunda dari
mertuanya, Susuktunggal. Dengan peristiwa ini, ia menjadi penguasa Sunda-Galuh
dan dinobatkan dengar gelar Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran
Sri Sang Ratu Dewata. Jadi sekali lagi dan untuk terakhir kalinya, setelah
"sepi" selama 149 tahun, Jawa Barat kembali menyaksikan iring-iringan
rombongan raja yang berpindah tempat dari timur ke barat. Untuk menuliskan
situasi kepindahan keluarga kerajaan dapat dilihat pada Pindahnya Ratu
Pajajaran
Di Jawa Barat Sri Baduga ini lebih dikenal
dengan nama Prabu Siliwangi. Nama Siliwangi sudah tercatat dalam kropak 630
sebagai lakon pantun. Naskah itu ditulis tahun 1518 ketika Sri Baduga masih
hidup. Lakon Prabu Siliwangi dalam berbagai versinya berintikan kisah tokoh ini
menjadi raja di Pakuan. Peristiwa itu dari segi sejarah berarti saat Sri Baduga
mempunyai kekuasaan yang sama besarnya dengan Wastu Kancana (kakeknya) alias
Prabu Wangi (menurut pandangan para pujangga Sunda).
Menurut tradisi lama. orang segan atau tidak
boleh menyebut gelar raja yang sesungguhnya, maka juru pantun mempopulerkan
sebutan Siliwangi. Dengan nama itulah ia dikenal dalam literatur Sunda. Wangsakerta pun mengungkapkan bahwa Siliwangi
bukan nama pribadi, ia menulis:
"Kawalya ta wwang Sunda lawan ika wwang
Carbon mwang sakweh ira wwang Jawa Kulwan anyebuta Prabhu Siliwangi raja
Pajajaran. Dadyeka dudu ngaran swaraga nira".
(Hanya orang Sunda dan orang Cirebon serta
semua orang Jawa Barat yang menyebut Prabu Siliwangi raja Pajajaran. Jadi nama
itu bukan nama pribadinya).
Waktu mudanya Sri Baduga terkenal sebagai
kesatria pemberani dan tangkas bahkan satu-satunya yang pernah mengalahkan Ratu Japura (Amuk
Murugul) waktu bersaing memperbutkan Subanglarang (istri
kedua Prabu Siliwangi yang beragama Islam). Dalam berbagai hal, orang
sejamannya teringat kepada kebesaran mendiang buyutnya (Prabu Maharaja Lingga
Buana) yang gugur di Bubat yang digelari Prabu Wangi.
Tentang hal itu, Pustaka Rajyarajya i Bhumi
Nusantara II/2 mengungkapkan bahwa orang Sunda menganggap Sri Baduga sebagai
pengganti Prabu Wangi, sebagai silih yang telah hilang. Naskahnya berisi sebagai
berikut (artinya saja):
"Di medan perang Bubat ia banyak
membinasakan musuhnya karena Prabu Maharaja sangat menguasai ilmu senjata dan
mahir berperang, tidak mau negaranya diperintah dan dijajah orang lain.
Ia berani menghadapi pasukan besar Majapahit yang dipimpin oleh sang Patih Gajah Mada yang jumlahnya tidak terhitung. Oleh
karena itu, ia bersama semua pengiringnya gugur tidak tersisa.
Ia senantiasa mengharapkan kemakmuran dan
kesejahteraan hidup rakyatnya di seluruh bumi Jawa Barat. Kemashurannya sampai
kepada beberapa negara di pulau-pulau Dwipantara atau Nusantara namanya yang
lain. Kemashuran Sang Prabu Maharaja membangkitkan (rasa bangga kepada)
keluarga, menteri-menteri kerajaan, angkatan perang dan rakyat Jawa Barat. Oleh
karena itu nama Prabu Maharaja mewangi. Selanjutnya ia di sebut Prabu Wangi.
Dan keturunannya lalu disebut dengan nama Prabu Siliwangi. Demikianlah menurut
penuturan orang Sunda".
Kesenjangan antara pendapat orang Sunda
dengan kenyataan sejarah seperti yang diungkapkan di atas mudah dijajagi.
Pangeran Wangsakerta, penanggung jawab penyusunan Sejarah Nusantara, menganggap
bahwa tokoh Prabu Wangi adalah Maharaja Linggabuana yang gugur di Bubat,
sedangkan penggantinya ("silih"nya) bukan Sri Baduga melainkan Wastu
Kancana (kakek Sri Baduga, yang menurut naskah Wastu Kancana disebut juga Prabu
Wangisutah).
Nah, orang Sunda tidak memperhatikan perbedaan
ini sehingga menganggap Prabu Siliwangi sebagai putera Wastu Kancana (Prabu
Anggalarang). Tetapi dalam Carita Parahiyangan disebutkan bahwa Niskala Wastu
Kancana itu adalah "seuweu" Prabu Wangi. Mengapa Dewa Niskala (ayah
Sri Baduga) dilewat? Ini disebabkan Dewa Niskala hanya menjadi penguasa Galuh.
Dalam hubungan ini tokoh Sri Baduga memang penerus "langsung" dari
Wastu Kancana. Menurut Pustaka Rajyarajya I Bhumi Nusantara II/4, ayah dan
mertua Sri Baduga (Dewa Niskala dan Susuktunggal) hanya bergelar PRABU,
sedangkan Jayadewata bergelar Maharaja (sama seperti kakeknya Wastu Kancana
sebagai penguasa Sunda-Galuh).
Dengan demikian, seperti diutarakan Amir
Sutaarga (1965), Sri Baduga itu dianggap sebagai "silih" (pengganti)
Prabu Wangi Wastu Kancana (oleh Pangeran Wangsakerta disebut Prabu Wangisutah).
"Silih" dalam pengertian kekuasaan ini oleh para pujangga babad yang
kemudian ditanggapi sebagai pergantian generasi langsung dari ayah kepada anak
sehingga Prabu Siliwangi dianggap putera Wastu Kancana.
Keterangan tentang bubat yang dimuat harian Suara Merdeka adalah sebagai berikut:
" Perang antara Kerajaan Majapahit dan
Kerajaan Sunda itu terjadi di desa Bubat. Perang ini dipicu oleh ambisi Maha
Patih Gajah Mada yang ingin menguasai Kerajaan Sunda. Pada saat itu sebenarnya
antara Kerajaan Sunda dan Majapahit sedang dibangun ikatan persaudaraan, yaitu
dengan menjodohkan Dyah Pitaloka dengan Maharaja Hayamwuruk. Nah Rombongan Kerajaan
Sunda ini di gempur oleh pasukan Mahapatih Gajah Mada yang menyebabkan semua
pasukan Kerajaan Sunda yang ikut rombongan punah. Akibat perang Bubat inipula,
maka hubungan antara Mahapatih Gajah Mada dan Maharaja Hayamwuruk menjadi
renggang ".
Ada sebuah pustaka yang bisa dijadikan
rujukan, Guguritan Sunda,
yang Mengisahkan gejolak sosial dan pecahnya perang di Desa Bubat antara
Kerajaan Majapahit dengan Kerajaan Sunda dan gugurnya Mahapatih Gajah Mada
secara misterius. Alih bahasa oleh I Wayan Sutedja (sepertinya pustaka aslinya
ditulis dalam Bahasa Bali, 1995. disimpan di Universitas Ohio.
Kebijakan Sri Baduga dan Kehidupan Sosial
Tindakan pertama yang diambil oleh Sri Baduga
setelah resmi dinobatkan jadi raja adalah menunaikan amanat dari kakeknya
(Wastu Kancana) yang disampaikan melalui ayahnya (Ningrat Kancana) ketika ia
masih menjadi mangkubumi di Kawali. Isi pesan ini bisa ditemukan pada salah
satu prasasti peninggalan Sri Baduga di Kebantenan. Isinya sebagai berikut
(artinya saja):
Semoga selamat. Ini tanda peringatan bagi
Rahyang Niskala Wastu Kancana. Turun kepada Rahyang Ningrat Kancana, maka
selanjutnya kepada Susuhunan sekarang di Pakuan Pajajaran. Harus menitipkan
ibukota di Jayagiri dan ibukota di Sunda Sembawa.
Semoga ada yang mengurusnya. Jangan
memberatkannya dengan "dasa", "calagra", "kapas
timbang", dan "pare dongdang".
Maka diperintahkan kepada para petugas muara
agar jangan memungut bea. Karena merekalah yang selalu berbakti dan membaktikan
diri kepada ajaran-ajaran. Merekalah yang tegas mengamalkan peraturan dewa.
Dengan tegas di sini disebut
"dayeuhan" (ibukota) di Jayagiri dan Sunda Sembawa. Penduduk kedua
dayeuh ini dibebaskan dari 4 macam pajak, yaitu "dasa" (pajak tenaga
perorangan), "calagra" (pajak tenaga kolektif), "kapas timbang"
(kapas 10 pikul) dan "pare dondang" (padi 1 gotongan). Dalam kropak
630, urutan pajak tersebut adalah dasa, calagra, "upeti",
"panggeureus reuma".
Dalam koropak 406 disebutkan bahwa dari
daerah Kandang Wesi (sekarang Bungbulang, Garut) harus membawa "kapas
sapuluh carangka" (10 carangka = 10 pikul = 1 timbang atau menurut
Coolsma, 1 caeng timbang) sebagai upeti ke Pakuan tiap tahun. Kapas termasuk
upeti. Jadi tidak dikenakan kepada rakyat secara perorangan, melainkan kepada
penguasa setempat.
"Pare dondang" disebut
"panggeres reuma". Panggeres adalah hasil lebih atau hasil cuma-cuma
tanpa usaha. Reuma adalah bekas ladang. Jadi, padi yang tumbuh terlambat
(turiang) di bekas ladang setelah dipanen dan kemudian ditinggalkan karena
petani membuka ladang baru, menjadi hak raja atau penguasa setempat (tohaan).
Dongdang adalah alat pikul seperti "tempat tidur" persegi empat yang
diberi tali atau tangkai berlubang untuk memasukan pikulan. Dondang harus
selalu digotong. Karena bertali atau bertangkai, waktu digotong selalu berayun
sehingga disebut "dondang" (berayun). Dondang pun khusus dipakai
untuk membawa barang antaran pada selamatan atau arak-arakan. Oleh karena itu,
"pare dongdang" atau "penggeres reuma" ini lebih bersifat
barang antaran.
Pajak yang benar-benar hanyalah pajak tenaga
dalam bentuk "dasa" dan "calagra" (Di Majapahit disebut
"walaghara = pasukan kerja bakti). Tugas-tugas yang harus dilaksanakan
untuk kepentingan raja diantaranya : menangkap ikan, berburu, memelihara
saluran air (ngikis), bekerja di ladang atau di "serang ageung" (ladang
kerajaan yang hasil padinya di peruntukkan bagi upacara resmi).
Dalam kropak 630 disebutkan "wwang tani
bakti di wado" (petani tunduk kepada wado). Wado atau wadwa ialah prajurit
kerajaan yang memimpin calagara. Sistem dasa dan calagara ini terus berlanjut
setelah jaman kerajaan. Belanda yang di negaranya tidak mengenal sistem semacam
ini memanfaatkanna untuk "rodi". Bentuk dasa diubah menjadi
"Heerendiensten" (bekerja di tanah milik penguasa atau pembesar).
Calagara diubah menjadi "Algemeenediensten" (dinas umum) atau
"Campongdiesnten" (dinas Kampung) yang menyangkut kepentingan umum,
seperti pemeliharaan saluran air, jalan, rumah jada dan keamanan. Jenis pertama
dilakukan tanpa imbalan apa-apa, sedangkan jenis kedua dilakuan dengan imbalan
dan makan. "Preangerstelsel" dan "Cultuurstelsel" yang
keduanya berupa sistem tanam paksa memanfaatkan tradisi pajak tenaga ini.
Dalam akhir abad ke-19 bentuknya berubah
menjadi "lakon gawe" dan berlaku untuk tingkat desa. Karena bersifat
pajak, ada sangsi untuk mereka yang melalaikannya. Dari sinilah orang Sunda
mempunyai peribahasa "puraga tamba kadengda" (bekerja sekedar untuk
menghindari hukuman atau dendaan). Bentuk dasa pada dasarnya tetap berlangsung.
Di desa ada kewajiban "gebagan" yaitu bekerja di sawah bengkok dan ti
tingkat kabupaten bekerja untuk menggarap tanah para pembesar setempat.
Jadi "gotong royong tradisional berupa
bekerja untuk kepentingan umum atas perintah kepala desa", menurut
sejarahnya bukanlah gotong royong. Memang tradisional, tetapi ide dasarnya
adalah pajak dalam bentuk tenaga. Dalam Pustaka Jawadwipa disebut karyabhakti
dan sudah dikenal pada masa Tarumanagara dalam abad ke-5.
Piagam-piagam Sri Baduga lainnya berupa
"piteket" karena langsung merupakan perintahnya. Isinya tidak hanya
pembebasan pajak tetapi juga penetapan batas-batas "kabuyutan" di
Sunda Sembawa dan Gunung Samaya yang dinyatakan sebagai "lurah
kwikuan" yang disebut juga desa perdikan, desa bebas pajak.
Peristiwa-peristiwa di masa pemerintahannya
Beberapa peristiwa menurut sumber-sumber sejarah:
Carita Parahiyangan
Dalam sumber sejarah ini, pemerintahan Sri Baduga
dilukiskan demikian :
" Purbatisi purbajati, mana mo
kadatangan ku musuh ganal musuh alit. Suka kreta tang lor kidul kulon wetan
kena kreta rasa. Tan kreta ja lakibi dina urang reya, ja loba di sanghiyang
siksa ".
( Ajaran dari leluhur dijunjung tinggi
sehingga tidak akan kedatangan musuh, baik berupa laskar maupun penyakit batin.
Senang sejahtera di utara, barat dan timur. Yang tidak merasa sejahtera
hanyalah rumah tangga orang banyak yang serakah akan ajaran agama ).
Dari Naskah ini dapat diketahui, bahwa pada
saat itu telah banyak Rakyat Pajajaran yang beralih agama (Islam) dengan
meninggalkan agama lama.
Pustaka Nagara Kretabhumi parwa I sarga 2.
Naskah ini menceritakan, bahwa pada tanggal
12 bagian terang bulan Caitra tahun 1404 Saka, Syarif Hidayat menghentikan
pengiriman upeti yang seharusnya di bawa setiap tahun ke Pakuan Pajajaran.
[Syarif Hidayat masih cucu Sri Baduga dari Lara Santang. Ia dijadikan raja oleh
uanya (Pangeran Cakrabuana) dan menjadi raja merdeka di Pajajaran di Bumi Sunda
(Jawa Barat)]
Ketika itu Sri Baduga baru saja menempati
istana Sang Bhima (sebelumnya di Surawisesa). Kemudian diberitakan, bahwa
pasukan Angkatan Laut Demak yang kuat berada di Pelabuhan Cirebon untuk menjada
kemungkinan datangnya serangan Pajajaran.
Tumenggung Jagabaya beserta 60 anggota
pasukannya yang dikirimkan dari Pakuan ke Cirebon, tidak mengetahui kehadiran
pasukan Demak di sana. Jagabaya tak berdaya menghadapi pasukan gabungan
Cirebon-Demak yang jumlahnya sangat besar. Setelah berunding, akhirnya Jagabaya
menghamba dan masuk Islam.
Peristiwa itu membangkitkan kemarahan Sri
Baduga. Pasukan besar segera disiapkan untuk menyerang Cirebon. Akan tetapi
pengiriman pasukan itu dapat dicegah oleh Purohita (pendeta tertinggi) keraton
Ki Purwa Galih. [Cirebon adalah daerah warisan Cakrabuana (Walangsungsang) dari
mertuanya (Ki Danusela) dan daerah sekitarnya diwarisi dari kakeknya Ki Gedeng
Tapa (Ayah Subanglarang).
Cakrabuana sendiri dinobatkan oleh Sri Baduga
(sebelum menjadi Susuhunan) sebagai penguasa Cirebon dengan gelar Sri Mangana.
Karena Syarif Hidayat dinobatkan oleh Cakrabuana dan juga masih cucu Sri
Baduga, maka alasan pembatalan penyerangan itu bisa diterima oleh penguasa
Pajajaran].
Demikianlah situasi yang dihadapi Sri Baduga
pada awal masa pemerintahannya. Dapat dimaklumi kenapa ia mencurahkan perhatian
kepada pembinaan agama, pembuatan parit pertahanan, memperkuat angkatan perang,
membuat jalan dan menyusun PAGELARAN (formasi tempur). [Pajajaran adalah negara
yang kuat di darat, tetapi lemah di laut.
Menurut sumber Portugis, di seluruh kerajaan,
Pajajaran memiliki kira-kira 100.000 prajurit. Raja sendiri memiliki pasukan
gajah sebanyak 40 ekor. Di laut, Pajajaran hanya memiliki enam buah Kapal Jung 150 ton dan beberaa lankaras (?)
untuk kepentingan perdagangan antar-pulaunya (saat itu perdagangan kuda jenis
Pariaman mencapai 4000 ekor/tahun)].
Keadaan makin tegang ketika hubungan
Demak-Cirebon makin dikukuhkan dengan perkawinan putera-puteri dari kedua belah
pihak.
Ada empat pasangan yang dijodohkan, yaitu :
- Pangeran Hasanudin dengan Ratu Ayu Kirana (Purnamasidi).
- Ratu Ayu dengan Pangeran Sabrang Lor.
- Pangeran Jayakelana dengan Ratu Pembayun.
- Pangeran Bratakelana dengan Ratu Ayu Wulan (Ratu Nyawa).
Perkawinan Pangeran Sabrang Lor
alias Yunus Abdul Kadir dengan Ratu Ayu terjadi 1511. Sebagai Senapati
Sarjawala, panglima angkatan laut, Kerajaan Demak, Sabrang Lor untuk sementara
berada di Cirebon.
Persekutuan Cirebon-Demak
inilah yang sangat mencemaskan Sri Baduga di Pakuan. Tahun 1512, ia mengutus
putera mahkota Surawisesa menghubungi Panglima Portugis Alfonso d'Albuquerque di Malaka (ketika itu baru saja gagal merebut Pelabuhan Pasai
atau Samudra Pasai).
Sebaliknya upaya Pajajaran ini telah pula meresahkan pihak Demak.
Pangeran Cakrabuana dan Susuhunan Jati
(Syarif Hidayat) tetap menghormati Sri Baduga karena masing-masing sebagai ayah
dan kakek. Oleh karena itu permusuhan antara Pajajaran dengan Cirebon tidak
berkembang ke arah ketegangan yang melumpuhkan sektor-sektor pemerintahan. Sri
Baduga hanya tidak senang hubungan Cirebon-Demak yang terlalu akrab, bukan terhadap
Kerajaan Cirebon. Terhadap Islam, ia sendiri tidak membencinya karena salah
seorang permaisurinya, Subanglarang, adalah seorang muslimah dan ketiga anaknya
-- Walangsungsang alias Cakrabuana, Lara Santang, dan Raja Sangara -- diizinkan
sejak kecil mengikuti agama ibunya (Islam).
Karena permusuhan tidak berlanjut ke arah
pertumpahan darah, maka masing masing pihak dapat mengembangkan keadaan dalam
negerinya. Demikianlah pemerintahan Sri Baduga dilukiskan sebagai jaman
kesejahteraan (Carita Parahiyangan). Tome Pires ikut mencatat kemajuan jaman
Sri Baduga dengan komentar "The Kingdom of Sunda is justly governed; they
are true men" (Kerajaan Sunda diperintah dengan adil; mereka adalah
orang-orang jujur).
Juga diberitakan kegiatan perdagangan Sunda
dengan Malaka sampai ke kepulauan Maladewa (Maladiven). Jumlah merica bisa
mencapai 1000 bahar (1 bahar = 3 pikul) setahun, bahkan hasil tammarin (asem)
dikatakannya cukup untuk mengisi muatan 1000 kapal.
Naskah Kitab Waruga Jagat dari Sumedang dan
Pancakaki Masalah karuhun Kabeh dari Ciamis yang ditulis dalam abad ke-18 dalam
bahasa Jawa dan huruf Arab-pegon masih menyebut masa pemerintahan Sri Baduga
ini dengan masa gemuh Pakuan (kemakmuran Pakuan) sehingga tak mengherankan bila
hanya Sri Baduga yang kemudian diabadikan kebesarannya oleh raja penggantinya
dalam jaman Pajajaran.
Sri Baduga Maharaja alias Prabu Siliwangi
yang dalam Prasasti Tembaga Kebantenan disebut Susuhuna di Pakuan Pajajaran,
memerintah selama 39 tahun (1482 - 1521). Ia disebut secara anumerta Sang
Lumahing (Sang Mokteng) Rancamaya karena ia dipusarakan di Rancamaya.
2). Surawisesa
Pengganti Sri Baduga Maharaja adalah
Surawisesa (puteranya dari Mayang Sunda dan juga cucu Prabu Susuktunggal). Ia
dipuji oleh Carita Parahiyangan dengan sebutan "kasuran" (perwira),
"kadiran" (perkasa) dan "kuwanen" (pemberani). Selama 14
tahun memerintah ia melakukan 15 kali pertempuran. Pujian penulis Carita
Parahiyangan memang berkaitan dengan hal ini.
Nagara Kretabhumi I/2 dan sumber Portugis
mengisahkan bahwa Surawisesa pernah diutus ayahnya menghubungi Alfonso
d'Albuquerque (Laksamana Bungker) di Malaka. Ia pergi ke Malaka dua kali (1512
dan 1521). Hasil kunjungan pertama adalah kunjungan penjajakan pihak Portugis
pada tahun 1513 yang diikuti oleh Tome Pires, sedangkan hasil kunjungan yang
kedua adalah kedatangan utusan Portugis yang dipimpin oleh Hendrik de Leme
(ipar Alfonso) ke Ibukota Pakuan. Dalam kunjungan itu disepakati persetujuan
antara Pajajaran dan Portugis mengenai perdagangan dan keamanan.
Dari perjanjian ini dibuat tulisan rangkap
dua, lalu masing-masing pihak memegang satu) Menurut Soekanto (1956) perjanjian
itu ditandatangai 21 Agustus 1522. Ten Dam menganggap bahwa perjanjian itu
hanya lisan. Namun, sumber Portugis yang kemudian dikutip Hageman menyebutkan
"Van deze overeenkomst werd een geschrift opgemaakt in dubbel, waarvan
elke partij een behield".
Dalam perjanjian itu disepakati bahwa
Portugis akan mendirikan benteng di Banten dan Kalapa. Untuk itu tiap kapal
Portugis yang datang akan diberi muatan lada yang harus ditukar dengan
barang-barang keperluan yang diminta oleh pihak Sunda. Kemudian pada saat
benteng mulai dibangun, pihak Sunda akan menyerahkan 1000 karung lada tiap
tahun untuk ditukarkan dengan muatan sebanyak dua "costumodos"
(kurang lebih 351 kuintal).
Perjanjian Pajajaran - Portugis sangat
mencemaskan Sultan Trenggana, Sultan Demak
III. Selat Malaka, pintu masuk perairan Nusantara sebelah utara sudah dikuasai
Portugis yang berkedudukan di Malaka dan Samudra Pasai. Bila
Selat Sunda yang menjadi pintu masuk perairan Nusantara di selatan juga
dikuasai Portugis, maka jalur perdagangan laut yang menjadi urat nadi kehidupan
ekonomi Demak terancam putus. Trenggana segera mengirim armadanya di bawah
pimpinan Fadillah Khan yang menjadi Senapati Demak.
Fadillah Khan memperistri Ratu Pembayun,
janda Pangeran Jayakelana. Kemudian ia pun menikah dengan Ratu Ayu, janda
Sabrang Lor (Sultan Demak II). Dengan demikian, Fadillah menjadi menantu Raden
Patah sekaligus menantu Susuhunan Jati Cirebon. Dari segi kekerabatan, Fadillah
masih terhitung keponakan Susuhunan Jati karena buyutnya Barkta Zainal Abidin
adalah adik Nurul Amin, kakek Susuhunan Jati dari pihak ayah. Selain itu
Fadillah masih terhitung cucu Sunan Ampel (Ali Rakhmatullah) sebab buyutnya
adalah kakak Ibrahim Zainal Akbar ayah Sunan Ampel. Sunan Ampel sendiri adalah
mertua Raden Patah (Sultan Demak I).
Barros menyebut Fadillah dengan Faletehan.
Ini barangkali lafal orang Portugis untuk Fadillah Khan. Tome Pinto menyebutnya
Tagaril untuk Ki Fadil (julukan Fadillah Khan sehari-hari).
Kretabhumi I/2 menyebutkan, bahwa makam Fadillah
Khan (disebut juga Wong Agung Pase) terletak di puncak Gunung Sembung
berdampingan (di sebelah timurnya) dengan makam Susushunan Jati. Hoesein
Djajaningrat (1913) menganggap Fadillah identik dengan Susuhunan Jati. Nama
Fadillah sendiri baru muncul dalam buku Sejarah Indonesia susunan Sanusi Pane
(1950). Carita Parahiyangan menyebut Fadillah dengan Arya Burah]
Pasukan Fadillah yang merupakan gabungan
pasukan Demak-Cirebon berjumlah 1967 orang. Sasaran pertama adalah Banten,
pintu masuk Selat Sunda. Kedatangan pasukan ini telah didahului dengan
huru-hara di Banten yang ditimbulkan oleh Pangeran Hasanudin dan para
pengikutnya. Kedatangan pasukan Fadillah menyebabkan pasukan Banten terdesak.
Bupati Banten beserta keluarga dan pembesar keratonnya mengungsi ke Ibukota
Pakuan.
Hasanudin kemudian diangkat oleh ayahnya
(Susuhunan Jati), menjadi Bupati Banten (1526). Setahun kemudian, Fadillah
bersama 1452 orang pasukannya menyerang dan merebut pelabuhan Kalapa. Bupati
Kalapa bersama keluarga dan para menteri kerajaan yang bertugas di pelabuhan
gugur. Pasukan bantuan dari Pakuan pun dapat dipukul mundur. Keunggulan pasukan
Fadillah terletak pada penggunaan meriam yang justru tidak
dimiliki oleh laskar Pajajaran.
Bantuan Portugis datang terlambat karena
Francisco de Sa yang ditugasi membangun benteng diangkat menjadi Gubernur Goa
di India. Keberangkatan ke Sunda dipersiapkan dari
Goa dengan 6 buah kapal. Galiun yang dinaiki De Sa dan berisi peralatan untuk
membangun benteng terpaksa ditinggalkan karena armada ini diterpa badai di
Teluk Benggala. De Sa tiba di Malaka tahun 1527.
Ekspedsi ke Sunda bertolak dari Malaka.
Mula-mula menuju Banten, akan tetapi karena Banten sudah dikuasai Hasanudin,
perjalanan dilanjutkan ke Pelabuhan Kalapa. Di Muara Cisadane, De Sa
memancangkan padrao pada tanggal 30 Juni
1527 dan memberikan nama kepada Cisadane "Rio de Sa Jorge". Kemudian
galiun De sa memisahkan diri. Hanya kapal brigantin (dipimpin Duarte Coelho)
yang langsung ke Pelabuhan Kalapa.
Coelho terlambat mengetahui perubahan
situasi, kapalnya menepi terlalu dekat ke pantai dan menjadi mangsa sergapan
pasukan Fadillah. Dengan kerusakan yang berat dan korban yang banyak, kapal
Portugis ini berhasil meloloskan diri ke Pasai. Tahun 1529 Portugis menyiapkan
8 buah kapal untuk melakukan serangan balasan, akan tetapi karena peristiwa
1527 yang menimpa pasukan Coelho demikian menakutkan, maka tujuan armada lalu
di ubah menuju Pedu.
Setelah Sri Baduga wafat, Pajajaran dengan
Cirebon berada pada generasi yang sejajar. Meskipun yang berkuasa di Cirebon
Syarif Hidayat, tetapi dibelakangnya berdiri Pangeran Cakrabuana (Walasungsang
atau bernama pula Haji Abdullah Iman). Cakrabuana adalah kakak seayah Prabu
Surawisesa. Dengan demikian, keengganan Cirebon menjamah pelabuhan atau wilayah
lain di Pajajaran menjadi hilang.
Meskipun, Cirebon sendiri sebenarnya relatif
lemah. Akan tetapi berkat dukungan Demak, kedudukannya menjadi mantap. Setelah
kedudukan Demak goyah akibat kegagalan serbuannya ke Pasuruan dan Panarukan (bahkan Sultan
Trenggana tebunuh), kemudian disusul dengan perang perebutan tahta, maka
Cirebon pun turut menjadi goyah pula. Hal inilah yang menyebabkan kedudukan
Cirebon terdesak dan bahkan terlampaui oleh Banten di kemudian hari.
Perang Cirebon - Pajajaran berlangsung 5
tahun lamanya. Yang satu tidak berani naik ke darat, yang satunya lagi tak
berani turun ke laut. Cirebon dan Demak hanya berhasil menguasai kota-kota
pelabuhan. Hanya di bagian timur pasukan Cirebon bergerak lebih jauh ke
selatan. Pertempuran dengan Galuh terjadi tahun 1528. Di sini pun terlihat
peran Demak karena kemenangan Cirebon terjadi berkat bantuan Pasukan meriam
Demak tepat pada saat pasukan Cirebon terdesak mundur. Laskar Galuh tidak
berdaya menghadapi "panah besi yang besar yang menyemburkan kukus ireng
dan bersuara seperti guntur serta memuntahkan logam panas". Tombak dan
anak panah mereka lumpuh karena meriam. Maka jatuhlah Galuh. Dua tahun kemudian
jatuh pula Kerajaan Talaga, benteng terakhir Kerajaan Galuh.
Sumedang masuk ke dalam lingkaran pengaruh
Cirebon dengan dinobatkannya Pangeran Santri menjadi Bupati Sumedang pada
tanggal 21 Oktober 1530. Pangeran Santri adalah cucu Pangeran Panjunan, kakak
ipar Syarif Hidayat. Buyut Pangeran Santri adalah Syekh Datuk Kahfi pendiri
pesantren pertama di Cirebon. Ia menjadi bupati karena pernikahannya dengan
Satyasih, Pucuk Umum (Unun?) Sumedang. Secara tidak resmi Sumedang menjadi
daerah Cirebon.
Dengan kedudukan yang mantap di timur
Citarum, Cirebon merasa kedudukannya mapan. Selain itu, karena gerakan ke
Pakuan selalu dapat dibendung oleh pasukan Surawisesa, maka kedua pihak
mengambil jalan terbaik dengan berdamai dan mengakui kedudukan masing-masing.
Tahun 1531 tercapai perdamaian antara Surawisesa dan Syarif Hidayat.
Masing-masing pihak berdiri sebagai negara merdeka. Di pihak Cirebon, ikut
menandatangani naskah perjanjian, Pangeran Pasarean (Putera Mahkota Cirebon),
Fadillah Khan dan Hasanudin (Bupati banten).
Perjanjian damai dengan Cirebon memberikan
peluang kepada Surawisesa untuk mengurus dalam negerinya. Setelah berhasil
memadamkan beberapa pemberontakkan, ia berkesempatan menerawang situasi dirinya
dan kerajaannya. Warisan dari ayahnya hanya tinggal setengahnya, itupun tanpa
pelabuhan pantai utara yang pernah memperkaya Pajajaran dengan lautnya. Dengan
dukungan 1000 orang pasukan belamati yang setia kepadanyalah, ia masih mampu
mempertahankan daerah inti kerajaannya.
Dalam suasana seperti itulah ia mengenang
kebesaran ayahandanya. Perjanjian damai dengan Cirebon memberi kesempatan
kepadanya untuk menunjukkan rasa hormat terhadap mendiang ayahnya. Mungkin juga
sekaligus menunjukkan penyesalannya karena ia tidak mampu mempertahankan
keutuhan wilayah Pakuan Pajajaran yang diamanatkan kepadanya. Dalam tahun 1533,
tepat 12 tahun setelah ayahnya wafat, ia membuat sasakala (tanda peringatan)
buat ayahnya. Ditampilkannya di situ karya-karya besar yang telah dilakukan
oleh Susuhunan Pajajaran. Itulah Prasasati Batutulis yang diletakkannya di
Kabuyutan tempat tanda kekuasaan Sri Baduga yang berupa lingga batu ditanamkan.
Penempatannya sedemikian rupa sehingga kedudukan antara anak dengan ayah amat
mudah terlihat. Si anak ingin agar apa yang dipujikan tentang ayahnya dengan
mudah dapat diketahui (dibaca) orang. Ia sendiri tidak berani berdiri sejajar
dengan si ayah. Demikianlah, Batutulis itu diletakkan agak ke belakang di
samping kiri Lingga Batu.
Surawisesa tidak menampilkan namanya dalam
prasasti. Ia hanya meletakkan dua buah batu di depan prasasti itu. Satu berisi
astatala ukiran jejak tangan, yang lainnya berisi padatala ukiran jejak kaki.
Mungkin pemasangan batutulis itu bertepatan dengan upacara srada yaitu
"penyempurnaan sukma" yang dilakukan setelah 12 tahun seorang raja
wafat. Dengan upacara itu, sukma orang yang meninggal dianggap telah lepas
hubungannya dengan dunia materi.
Surawisesa dalam kisah tradisional lebih
dikenal dengan sebutan Guru Gantangan atau Munding Laya Dikusuma.
Permaisurinya, Kinawati, berasal dari Kerajaan Tanjung Barat yang terletak di
daerah Pasar Minggu, Jakarta Selatan, sekarang. Kinawati adalah puteri Mental
Buana, cicit Munding Kawati yang kesemuanya penguasa di Tanjung Barat.
Baik Pakuan maupun Tanjung Barat terletak di
tepi Ciliwung. Diantara dua kerajaan ini terletak kerajaan kecil Muara Beres di
Desa Karadenan (dahulu Kawung Pandak). Di Muara Beres in bertemu silang jalan
dari Pakuan ke Tanjung Barat terus ke Pelabuhan Kalapa dengan jalan dari Banten
ke daerah Karawang dan Cianjur. Kota pelabuhan sungai ini jaman dahulu
merupakan titik silang. Menurut Catatan VOC tempat ini terletak 11/2 perjalanan
dari Muara Ciliwung dan disebut jalan Banten lama (oude Bantamsche weg)].
Surawisesa memerintah selama 14 tahun
lamanya. Dua tahun setelah ia membuat prasasti sebagai sasakala untuk ayahnya,
ia wafat dan dipusarakan di Padaren. Di antara raja-raja jaman Pajajaran, hanya
dia dan ayahnya yang menjadi bahan kisah tradisional, baik babad maupun pantun.
Babad Pajajaran atau Babad Pakuan, misalnya, semata mengisahkan
"petualangan" Surawisesa (Guru Gantangan) dengan sebuah cerita Panji.
3). Ratu Dewata
Surawisesa digantikan oleh puteranya, Ratu
Dewata. Berbeda dengan Surawisesa yang dikenal sebagai panglima perang yang
perwira, perkasa dan pemberani, Ratu Dewata sangat alim dan taat kepada agama.
Ia melakukan upacara sunatan (adat khitan pra-Islam) dan melakukan tapa
pwah-susu, hanya makan buah-buahan dan minum susu. Menurut istilah sekarang
vegetarian.
Resminya perjanjian perdamaian
Pajajaran-Cirebon masih berlaku. Tetapi Ratu Dewata lupa bahwa sebagai tunggul
negara ia harus tetap bersiaga. Ia kurang mengenal seluk-beluk politik.
Hasanudin dari Banten sebenarnya ikut
menandatangani perjanjian perdamaian Pajajaran-Cirebon, akan tetapi itu dia
lakukan hanya karena kepatuhannya kepada siasat ayahnya (Susuhunan Jati) yang
melihat kepentingan Wilayah Cirebon di sebelah timur Citarum. Secara pribadi
Hasanudin kurang setuju dengan perjanjian itu karena wilayah kekuasaannya
berbatasan langsung dengan Pajajaran. Maka secara diam-diam ia membentuk
pasukan khusus tanpa identitas resmi yang mampu bergerak cepat. Kemampuan
pasukan Banten dalam hal bergerak cepat ini telah dibuktikannya sepanjang abad
ke-18 dan merupakan catatan khusus Belanda, terutama gerakan pasukan Syekh Yusuf.
Menurut Carita Parahiyangan, pada masa
pemerintahan Ratu Dewata ini terjadi serangan mendadak ke Ibukota Pakuan dan
musuh "tambuh sangkane" (tidak dikenal asal-usulnya).
Ratu Dewata masih beruntung karena memiliki
para perwira yang pernah mendampingi ayahnya dalam 15 kali pertempuran. Sebagai
veteran perang, para perwira ini masih mampu menghadapi sergapan musuh. Di
samping itu, ketangguhan benteng Pakuan peninggalan Sri Baduga menyebabkan
serangan kilat Banten (dan mungkin dengan Kalapa) ini tidak mampu menembus
gerbang Pakuan. [Alun-alun Empang sekarang pernah menjadi Ranamandala (medan
pertempuran) mempertaruhkan sisa-sisa kebesaran Siliwangi yang diwariskan kepada
cucunya].
Penyerang tidak berhasil menembus pertahanan
kota, tetapi dua orang senapati Pajajaran gugur, yaitu Tohaan Ratu Sangiang dan
Tohaan Sarendet. [Kokohnya benteng Pakuan adalah pertama merupakan jasa Banga
yang pada tahun 739 menjadi raja di Pakuan yang merupakan bawahan Raja Galuh.
Ia ketika itu berusaha membebaskan diri dari kekuasaaan Manarah di Galuh. Ia
berhasil setelah berjuang selama 20 tahun dan keberhasilannya itu di awali
dengan pembuatan parit pertahanan kota. Kemudian keadaan Pakuan ini diperluas
pada jaman Sri Baduga seperti yang bisa ditemukan pada Pustaka Nagara
Kretabhuni I/2 yang isinya antara lain (artinya saja).
"Sang Maharaja membuat karya besar,
yaitu membangun telaga besar yang bernama Maharena Wijaya, membuat jalan yang
menuju ke ibukota Pakuan dan jalan ke Wanagiri, memperteguh kedatuan,
memberikan desa (perdikan) kepada semua pendeta dan pengiringnya untuk
menggairahkan kegiatan agama yang menjadi penuntun kehidupan rakyat. Kemudian
membuat kaputren (tempat isteri-isteri-nya), kesatrian (asrama prajurit),
satuan-satuan tempat (pageralaran), tempat-tempat hiburan, memperkuat angkatan
perang, memungut upeti dari raja-raja bawahan dan kepala-kepala desa dan
menyusun Undang-undang Kerajaan Pajajaran"
Amateguh kedatwan (memperteguh kedatuan)
sejalan dengan maksud "membuat parit" (memperteguh pertahanan)
Pakuan, bukan saja karena kata Pakuan mempunyai arti pokok keraton atau
kedatuan, melainkan kata amateguh menunjukkan bahwa kata kedatuan dalam hal ini
kota raja. Jadi sama dengan Pakuan dalam arti ibukota.
Selain hal di atas, juga lokasi Pakuan yang
berada pada posisi yang disebut lemah duwur atau lemah luhur (dataran tinggi,
oleh Van Riebeeck disebut "bovenvlakte"). Pada posisi ini, mereka
tidak berlindung di balik bukit, melainkan berada di atas bukit. {Pasir Muara
di Cibungbulang merupakan contoh bagaimana bukit rendah yang dikelilingi tiga
batang sungai pernah dijadikan pemukiman "lemah duwur" sejak beberapa
ratus tahun sebelum masehi}. Lokasi Pakuan merupakan lahan lemah duwur yang
satu sisinya terbuka menghadap ke arah Gunung Pangrango. Tebing Ciliwung,
Cisadane dan Cipaku merupakan pelindung alamiah.
Tipe lemah duwur biasanya dipilih sama
masyarakat dengan latar belakang kebudayaan huma (ladang). Kota-kota yang
seperti ini adalah Bogor, Sukabumi dan Cianjur. Kota seperti ini biasanya
dibangun dengan konsep berdasarkan pengembangan perkebunan. Tipe lain adalah
apa yang disebut garuda ngupuk. Tipe seperti ini biasanya dipilih oleh
masyarakat dengan latar belakang kebudayaan sawah. Mereka menganggap bahwa
lahan yang ideal untuk pusat pemerintahan adalah lahan yang datar, luas,
dialiri sungai dan berlindung di balik pegunungan. Kota-kota yang dikembangkan
dengan corak ini misalnya Garut, Bandung dan Tasikmalaya. Sumedang memiliki dua
persyaratan tipe ini. Kutamaya dipilih oleh
Pangeran Santri menurut idealisme Pesisir Cirebon karena ia orang Sindangkasih
(Majalengka) yang selalu hilir mudik ke Cirebon. Baru pada waktu kemudian
Sumedang dikukuhkan dengan pola garuda ngupuk pada lokasi pusat kota Sumedang
yang sekarang.
Gagal merebut benteng kota, pasukan penyerbu
ini dengan cepat bergerak ke utara dan menghancurkan pusat-pusat keagamaan di Sumedang, Ciranjang dan Jayagiri yang dalam jaman
Sri Baduga merupakan desa kawikuan yang dilindungi oleh negara.
Sikap Ratu Dewata yang alim dan rajin
bertapa, menurut norma kehidupan jaman itu tidak tepat karena raja harus
"memerintah dengan baik". Tapa-brata seperti yang dilakukannya itu
hanya boleh dilakukan setelah turun tahta dan menempuh kehidupan manurajasuniya
seperti yang telah dilakukan oleh Wastu Kancana. Karena itulah Ratu Dewata
dicela oleh penulis Carita Parahiyangan dengan sindiran (kepada para pembaca)
"Nya iyatna-yatna sang kawuri, haywa ta
sira kabalik pupuasaan"
(Maka berhati-hatilan yang kemudian,
janganlah engkau berpura-pura rajin puasa).
Rupa-rupanya penulis kisah kuno itu melihat
bahwa kealiman Ratu Dewata itu disebabkan karena ia tidak berani menghadapi
kenyataan. Penulis kemudian berkomentar pendek "Samangkana ta
precinta" (begitulah jaman susah).
4). Ratu Sakti
Raja Pajajaran keempat adalah Ratu Sakti.
Untuk mengatasi keadaan yang ditinggalkan Ratu Dewata yang bertindak serba
alim, ia bersikap keras bahkan akhirnya kejam dan lalim. Dengan pendek Carita
Parahiyangan melukiskan raja ini. Banyak rakyat dihukum mati tanpa diteliti
lebih dahulu salah tidaknya. Harta benda rakyat dirampas untuk kepentingan
keraton tanpa rasa malu sama sekali.
Kemudian raja ini melakukan pelanggaran yang
sama dengan Dewa Niskala yaitu mengawini "estri larangan ti kaluaran"
(wanita pengungsi yang sudah bertunangan). Masih ditambah lagi dengan berbuat
skandal terhadap ibu tirinya yaitu bekas para selir ayahnya. Karena itu ia
diturunkan dari tahta kerajaan. Ia hanya beruntung karena waktu itu sebagian
besar pasukan Hasanuddin dan Fadillah sedang membantu Sultan Trenggana menyerbu
Pasuruan dan Panarukan. Setelah
meninggal, Ratu Sakti dipusarakan di Pengpelengan.
5). Ratu Nilakendra
Nilakendra atau Tohaan di Majaya naik tahta
sebagai penguasa Pajajaran yang kelima. Pada saat itu situasi kenegaraan telah
tidak menentu dan frustasi telah melanda segala lapisan masyarakat. Carita
Parahiyangan memberitakan sikap petani "Wong huma darpa mamangan, tan igar
yan tan pepelakan" (Petani menjadi serakah akan makanan, tidak merasa
senang bila tidak bertanam sesuatu). Ini merupakan berita tidak langsung, bahwa
kelaparan telah berjangkit.
Frustasi di lingkungan kerajaan lebih parah
lagi. Ketegangan yang mencekam menghadapi kemungkinan serangan musuh yang
datang setiap saat telah mendorong raja beserta para pembesarnya memperdalam
aliran keagamaan Tantra. Sekte Tantra adalah sekte yang melakukan meditasi
dengan mempersatukan Yoni dan Lingga. Artinya meditasi dilakukan dengan
melakukan hubungan antara laki laki dan perempuan. Srri Kertanegara dari
Kerajaan Singhasari juga penganut ajaran ini.
"Lawasnya ratu kampa kalayan pangan,
tatan agama gyan kewaliya mamangan sadrasa nu surup ka sangkan beuanghar"
(Karena terlalu lama raja tergoda oleh
makanan, tiada ilmu yang disenanginya kecuali perihal makanan lezat yang layak
dengan tingkat kekayaan).
Selain itu, Nilakendra malah memperindah
keraton, membangun taman dengan jalur-jalur berbatu ("dibalay")
mengapit gerbang larangan. Kemudian membangun "rumah keramat" (bale
bobot) sebanyak 17 baris yang ditulisi bermacam-macam kisah dengan emas.
Mengenai musuh yang harus dihadapinya,
sebagai penganut ajaran Tantra yang setia, ia membuat sebuah "bendera
keramat" ("ngibuda Sanghiyang Panji"). Bendera inilah yang
diandalkannya menolak musuh. Meskipun bendera ini tak ada gunanya dalam
menghadapi laskar Banten karena mereka tidak takut karenanya. Akhirnya nasib
Nilakendra dikisahkan "alah prangrang, maka tan nitih ring kadatwan"
(kalah perang, maka ia tidak tinggal di keraton).
Nilakendra sejaman dengan Panembahan
Hasanudin dari Banten dan bila diteliti isi buku Sejarah Banten tentang
serangan ke Pakuan yang ternyata melibatkan Hasanudin dengan puteranya Yusuf,
dapatlah disimpulkan, bahwa yang tampil ke depan dalam serangan itu adalah
Putera Mahkota Yusuf. Peristiwa kekalahan Nilakendra ini terjadi ketika
Susuhunan Jati masih hidup (ia baru wafat tahun 1568 dan Fadillah wafat 2 tahun
kemudian).
Demikianlah, sejak saat itu ibukota Pakuan telah
ditinggalkan oleh raja dan dibiarkan nasibnya berada pada penduduk dan para
prajurit yang ditinggalkan. Namun ternyata Pakuan sanggup bertahan 12 tahun
lagi.
6). Raga Mulya
Raga Mulya adalah raja terakhir Kerajaan Pajajaran. Nama ini dalam naskah Wangsakerta
disebut juga sebagai Prabu Suryakancana, sedangkan dalam Carita Parahiyangan
dikenal dengan nama Nusya Mulya.
Prabu Suryakancana tidak berkedudukan di Pakuan, tetapi di Pulasari, Pandeglang. Oleh karena itu, ia dikenal pula
sebagai Pucuk Umun (Panembahan) Pulasari (mungkin raja ini berkedudukan di
Kaduhejo, Kecamatan Menes pada lereng Gunung Palasari).
Dalam Pustaka Nusantara
III/1 dan Kretabhumi I/2
disebutkan,
Pajajaran sirna ing ekadaśa śuklapaksa
Wesakamasa sewu limang atus punjul siki ikang Śakakala
Yang artinya,
" Pajajaran lenyap pada tanggal 11 bagian terang
bulan Wesaka tahun 1501 Saka. "
Naskah Banten
memberitakan keberangkatan pasukan Banten ketika akan melakukan
penyerangan ke Pakuan dalam pupuh Kinanti yang artinya,
" Waktu keberangkatan itu terjadi bulan Muharam
tepat pada awal bulan hari Ahad tahun Alif inilah tahun Sakanya satu lima
kosong satu ".
Walaupun tahun Alif baru digunakan oleh Sultan Agung Mataram dalam tahun 1633
M, namun dengan perhitungan mundur, tahun kejatuhan Pakuan 1579
itu memang akan jatuh pada tahun Alif. Yang keliru hanyalah hari, sebab dalam
periode itu, tanggal satu Muharam tahun Alif akan jatuh pada hari Sabtu.
Yang terpenting dari naskah Banten tersebut
adalah memberitakan bahwa benteng kota Pakuan baru dapat dibobol setelah
terjadinya penghianatan. Komandan kawal benteng Pakuan merasa sakit hati karena
tidak memperoleh kenaikan pangkat. Ia adalah saudara Ki Jongjo, seorang
kepercayaan Panembahan Yusuf. Tengah malam, Ki Jongjo bersama pasukan khusus
menyelinap ke dalam kota setelah pintu benteng terlebih dahulu dibukakan
saudaranya itu.
Kisah itu mungkin benar mungkin tidak. Yang
jelas justeru menggambarkan betapa tangguhnya benteng Pakuan yang dibuat
Siliwangi. Setelah ditinggalkan oleh raja selama 12 tahun, pasukan Banten masih
terpaksa menggunakan cara halus untuk menembusnya.
Dan berakhirlah jaman Pajajaran (1482-1579).
Itu ditandai dengan diboyongnya Palangka Sriman Sriwacana, tempat duduk kala
seorang raja dinobatkan, dari Pakuan ke Surasowan di Banten oleh pasukan
Maulana Yusuf. Batu berukuran 200 x 160 x 20 cm itu terpaksa diboyong ke Banten
karena tradisi politik waktu itu "mengharuskan" demikian. Pertama,
dengan dirampasnya Palangka tersebut, di Pakuan tidak mungkin lagi dinobatkan
raja baru. Kedua, dengan memiliki Palangka itu, Maulana Yusuf merupakan penerus
kekuasaan Pajajaran yang "sah" karena buyut perempuannya adalah
puteri Sri Baduga Maharaja.
Dalam Carita Parahiyangan diberitakan sebagai berikut:
Sang Susuktunggal inyana nu nyieuna palangka
Sriman Sriwacana Sri Baduga Maharajadiraja Ratu Haji di Pakwan Pajajaran nu
mikadatwan Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati, inyana Pakwan Sanghiyang
Sri Ratu Dewata.
Artinya:
" Sang Susuktunggal ialah yang membuat tahta Sriman
Sriwacana (untuk) Sri Baduga Maharaja ratu penguasa di Pakuan Pajajaran yang
bersemayam di keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati yaitu istana
Sanghiyang Sri Ratu Dewata. "
Kata "palangka" secara umum berarti
tempat duduk (bahasa Sunda, pangcalikan),
yang secara kontekstual bagi kerajaan berarti "tahta". Dalam hal ini
adalah tahta penobatannya itu tempat duduk khusus yang hanya digunakan pada
upacara penobatan. Di atas palangka itulah si (calon) raja diberkati (diwastu)
oleh pendeta tertinggi. Tempatnya berada di kabuyutan kerajaan, tidak di dalam
istana. Sesuai dengan tradisi, tahta itu terbuat dari batu dan digosok halus
mengkilap. Batu tahta seperti ini oleh penduduk biasanya disebut batu
pangcalikan atau batu ranjang (bila kebetulan dilengkapi dengan kaki seperti
balai-balai biasa). Batu pangcalikan bisa ditemukan, misalnya di makam kuno
dekat Situ Sangiang di
Desa Cibalanarik, Kecamatan Sukaraja, Tasikmalaya dan di Karang Kamulyan
bekas pusat Kerajaan Galuh di Ciamis. Sementara batu ranjang dengan kaki berukir dapat
ditemukan di Desa Batu Ranjang,
Kecamatan Cimanuk, Pandeglang (pada petakan sawah yang terjepit
pohon).
Palangka Sriman Sriwacana sendiri saat ini
bisa ditemukan di depan bekas Keraton Surasowan di Banten. Karena mengkilap,
orang Banten menyebutnya watu gigilang. Kata gigilang berarti mengkilap atau
berseri, sama artinya dengan kata sriman.
Pindahnya Ratu Pajajaran
Proses kepindahan isteri Ratu Pakuan (Sri Baduga) ke Pakuan terekam oleh pujangga bernama Kai Raga di Gunung
Srimanganti (Cikuray). Naskahnya
ditulis dalam sebuah pantun dan dinamai Carita Ratu Pakuan, yang diperkirakan
ditulis pada akhir abad ke-17 atau awal abad ke-18. Naskah itu dapat ditemukan
pada Koropak 410 . Isinya adalah sebagai berikut (terjemahannya saja):
Tersebutlah Ambetkasih bersama
madu-madunya bergerak payung lebesaran melintas tugu yang seia dan sekata
hendak pulang ke Pakuan kembali dari keraton di timur halaman cahaya putih
induk permata cahaya datar namanya keraton berseri emas permata rumah berukir
lukisan alun di Sanghiyang Pandan-larang keraton penenang hidup.
Bergerak barisan depan disusul yang kemudian
teduh dalam ikatan dijunjung bakul kue dengan tutup yang diukir kotak jati
bersudut bulatan emas tempat sirih nampan perak bertiang gading ukiran telapak
gajah hendak dibawa ke Pakuan.
Bergerak tandu kencana beratap cemara gading
bertiang emas bernama lingkaran langit berpuncak permata indah ditatahkan pada
watang yang bercungap singa-singaan di sebelah kiri-kanan payung hijau bertiang
gading berpuncak getas yang bertiang berpuncak emas dan payung saberilen
berumbai potongan benang tapok terongnya emas berlekuk berayun panjang
langkahnya terkedip sambil menoleh ibarat semut, rukun dengan saudaranya
tingkahnya seperti semut beralih.
Bergerak seperti pematang cahaya
melayang-layang berlenggang di awang-awang pembawa gendi di belakang pembawa
kandaga di depan dan ayam-ayaman emas kiri-kanan kidang-kidangan emas di tengah
siapa diusun di singa barong. Bergerak yang di depan, menyusul yang kemudian
barisan yang lain lagi.
Yang dikisahkan dalam pantun itu adalah Ngabetkasih (Ambetkasih), isteri
Sri Baduga yang pertama (puteri Ki Gedeng Sindang Kasih, putera Wastu Kancana
ketiga dari Mayangsari). Ia pindah dari keraton timur (Galuh) ke Pakuan bersama
isteri-isteri Sri Baduga yang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar