Tarumanagara atau Taruma adalah sebuah kerajaan yang pernah berkuasa di wilayah pulau Jawa bagian
barat pada abad ke-4 hingga abad ke-7 M, yang merupakan salah satu kerajaan tertua di Nusantara
yang diketahui. Dalam catatan, kerajaan Tarumanagara adalah kerajaan Hindu
beraliran Wisnu.
Sejarah
Bila menilik catatan prasasti, tidak ada
penjelasan yang pasti siapa yang mendirikan pertama kal kerajaan Taruma. Raja
yang berkuasa adalah Purnawarman. Pada tahun 417
ia memerintahkan penggalian Sungai Gomati dan Candrabaga sepanjang 6112 tombak
(sekitar 11 km). Selesai penggalian, sang prabu mengadakan selamatan dengan
menyedekahkan 1.000 ekor sapi kepada kaum brahmana.
Prasasti
- Prasasti Kebon Kopi, dibuat sekitar 400 M (H Kern 1917), ditemukan di perkebunan kopi milik Jonathan Rig, Ciampea, Bogor
- Prasasti Tugu, ditemukan di Kampung Batutumbu, Desa Tugu, Kecamatan Tarumajaya, Kabupaten Bekasi, sekarang disimpan di museum di Jakarta. Prasasti tersebut isinya menerangkan penggalian Sungai Candrabaga oleh Rajadirajaguru dan penggalian Sungai Gomati oleh Purnawarman pada tahun ke-22 masa pemerintahannya.
- Prasasti Munjul atau Prasasti Cidanghiang, ditemukan di aliran Sungai Cidanghiang yang mengalir di Desa Lebak, Kecamatan Munjul, Kabupaten Pandeglang, Banten, berisi pujian kepada Raja Purnawarman.
- Prasasti Ciaruteun, Ciampea, Bogor
- Prasasti Muara Cianten, Ciampea, Bogor
- Prasasti Jambu, Nanggung, Bogor
- Prasasti Pasir Awi, Citeureup, Bogor
Lahan tempat prasasti itu ditemukan berbentuk
bukit rendah berpermukaan datar dan diapit tiga batang sungai: Cisadane,
Cianten dan Ciaruteun. Sampai abad ke-19, tempat itu masih dilaporkan dengan
nama Pasir Muara. Dahulu termasuk bagian tanah swasta Ciampea. Sekarang
termasuk wilayah Kecamatan Cibungbulang.
Kampung Muara tempat prasasti Ciaruteun dan
Telapak Gajah ditemukan, dahulu merupakan sebuah "kota pelabuhan
sungai" yang bandarnya terletak di tepi pertemuan Cisadane dengan Cianten.
Sampai abad ke-19 jalur sungai itu masih digunakan untuk angkutan hasil
perkebunan kopi. Sekarang masih digunakan oleh pedagang bambu untuk mengangkut
barang dagangannya ke daerah hilir.
Prasasti pada zaman ini menggunakan aksara
Sunda kuno, yang pada awalnya merupakan perkembangan dari aksara tipe Pallawa
Lanjut, yang mengacu pada model aksara Kamboja dengan beberapa cirinya yang
masih melekat. Pada zaman ini, aksara tersebut belum mencapai taraf modifikasi
bentuk khasnya sebagaimana yang digunakan naskah-naskah (lontar) abad ke-16.
Prasasti Pasir Muara
Di Bogor, prasasti ditemukan di Pasir Muara,
di tepi sawah, tidak jauh dari prasasti Telapak Gajah peninggalan Purnawarman.
Prasasti itu kini tak berada ditempat asalnya. Dalam prasasti itu
dituliskan :
ini sabdakalanda rakryan juru panga-mbat i
kawihaji panyca pasagi marsa-n desa barpulihkan haji su-nda
Terjemahannya menurut Bosch:
Ini tanda ucapan Rakryan Juru Pengambat dalam
tahun (Saka) kawihaji (8) panca (5) pasagi (4), pemerintahan begara
dikembalikan kepada raja Sunda.
Karena angka tahunnya bercorak
"sangkala" yang mengikuti ketentuan "angkanam vamato gatih"
(angka dibaca dari kanan), maka prasasti tersebut dibuat dalam tahun 458 Saka
atau 536 Masehi.
Prasasti Ciaruteun
Prasasti Ciaruteun ditemukan pada aliran
Sungai Ciaruteun, seratus meter
dari pertemuan sungai tersebut dengan Sungai Cisadane; namun pada tahun 1981
diangkat dan diletakkan di dalam cungkup. Prasasti ini peninggalan Purnawarman,
beraksara Palawa, berbahasa Sansekerta.
Isinya adalah puisi empat baris, yang berbunyi:
vikkrantasyavanipateh shrimatah
purnavarmmanah tarumanagararendrasya vishnoriva padadvayam
Terjemahannya menurut Vogel:
Kedua (jejak) telapak kaki yang seperti
(telapak kaki) Wisnu ini kepunyaan raja dunia yang gagah berani yang termashur
Purnawarman penguasa Tarumanagara.
Selain itu, ada pula gambar sepasang
"pandatala" (jejak kaki), yang menunjukkan tanda kekuasaan
&mdash& fungsinya seperti "tanda tangan" pada zaman sekarang.
Kehadiran prasasti Purnawarman di kampung itu menunjukkan bahwa daerah itu
termasuk kawasan kekuasaannya. Menurut Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara
parwa II, sarga 3, halaman 161, di antara bawahan Tarumanagara pada masa
pemerintahan Purnawarman terdapat nama "Rajamandala" (raja daerah)
Pasir Muhara.
Prasasti Telapak Gajah
Prasasti Telapak Gajah bergambar sepasang
telapak kaki gajah yang diberi keterangan satu baris berbentuk puisi berbunyi:
jayavi s halasya tarumendrsaya hastinah
airavatabhasya vibhatidam padadavayam
Terjemahannya:
Kedua jejak telapak kaki adalah jejak kaki
gajah yang cemerlang seperti Airawata kepunyaan penguasa Tarumanagara yang jaya
dan berkuasa.
Menurut mitologi Hindu, Airawata adalah nama
gajah tunggangan Batara Indra dewa perang dan penguawa Guntur. Menurut Pustaka
Parawatwan i Bhumi Jawadwipa parwa I, sarga 1, gajah perang Purnawarman diberi
nama Airawata seperti nama gajah tunggangan Indra. Bahkan diberitakan juga,
bendera Kerajaan Tarumanagara berlukiskan rangkaian bunga teratai di atas
kepala gajah. Demikian pula mahkota yang dikenakan Purnawarman berukiran
sepasang lebah.
Ukiran bendera dan sepasang lebah itu dengan
jelas ditatahkan pada prasasti Ciaruteun yang telah memancing perdebatan
mengasyikkan di antara para ahli sejarah mengenai makna dan nilai
perlambangannya. Ukiran kepala gajah bermahkota teratai ini oleh para ahli
diduga sebagai "huruf ikal" yang masih belum terpecahkan bacaaanya
sampai sekarang. Demikian pula tentang ukiran sepasang tanda di depan telapak
kaki ada yang menduganya sebagai lambang labah-labah, matahari kembar atau
kombinasi surya-candra (matahari dan bulan). Keterangan pustaka dari Cirebon
tentang bendera Tarumanagara dan ukiran sepasang "bhramara" (lebah)
sebagai cap pada mahkota Purnawarman dalam segala "kemudaan" nilainya
sebagai sumber sejarah harus diakui kecocokannya dengan lukisan yang terdapat
pada prasasti Ciaruteun.
Prasasti lain
Di daerah Bogor, masih ada satu lagi prasasti
lainnya yaitu prasasti batu peninggalan Tarumanagara yang terletak di puncak
Bukit Koleangkak, Desa Pasir Gintung, Kecamatan Leuwiliang. Pada bukit ini
mengalir (sungai) Cikasungka.
Prasasti inipun berukiran sepasang telapak kaki dan diberi
keterangan berbentuk puisi dua baris:
shriman data kertajnyo narapatir - asamo yah
pura tarumayam nama shri purnnavarmma pracurarupucara fedyavikyatavammo
tasyedam - padavimbadavyam arnagarotsadane nitya-dksham bhaktanam yangdripanam
- bhavati sukhahakaram shalyabhutam ripunam.
Terjemahannya menurut Vogel:
Yang termashur serta setia kepada tugasnya
ialah raja yang tiada taranya bernama Sri Purnawarman yang memerintah Taruma
serta baju perisainya tidak dapat ditembus oleh panah musuh-musuhnya;
kepunyaannyalah kedua jejak telapak kaki ini, yang selalu berhasil
menghancurkan benteng musuh, yang selalu menghadiahkan jamuan kehormatan
(kepada mereka yang setia kepadanya), tetapi merupakan duri bagi
musuh-musuhnya.
Naskah Wangsakerta
Penjelasan tentang Tarumanagara cukup jelas
di Naskah Wangsakerta.
Sayangnya, naskah ini mengundang polemik dan banyak pakar sejarah yang
meragukan naskah-naskah ini bisa dijadikan rujukan sejarah.
Pada Naskah Wangsakerta dari Cirebon itu, Tarumanegara didirikan oleh
Rajadirajaguru Jayasingawarman pada tahun 358,
yang kemudian digantikan oleh putranya, Dharmayawarman (382-395).
Jayasingawarman dipusarakan di tepi kali Gomati, sedangkan putranya di
tepi kali Candrabaga.
Maharaja Purnawarman adalah raja Tarumanagara
yang ketiga (395-434 M). Ia membangun ibukota kerajaan baru pada tahun 397
yang terletak lebih dekat ke pantai. Dinamainya kota itu Sundapura--pertama
kalinya nama "Sunda" digunakan.
Prasasti Pasir Muara yang menyebutkan
peristiwa pengembalian pemerintahan kepada Raja Sunda itu dibuat tahun 536 M.
Dalam tahun tersebut yang menjadi penguasa Tarumanagara adalah Suryawarman (535
- 561 M) Raja Tarumanagara ke-7. Pustaka Jawadwipa, parwa I, sarga 1
(halaman 80 dan 81) memberikan keterangan bahwa dalam masa pemerintahan
Candrawarman (515-535 M), ayah Suryawarman, banyak penguasa daerah yang
menerima kembali kekuasaan pemerintahan atas daerahnya sebagai hadiah atas
kesetiaannya terhadap Tarumanagara. Ditinjau dari segi ini, maka Suryawarman
melakukan hal yang sama sebagai lanjutan politik ayahnya.
Rakeyan Juru Pengambat yang tersurat dalam
prasasti Pasir Muara mungkin sekali seorang pejabat tinggi Tarumanagara yang
sebelumnya menjadi wakil raja sebagai pimpinan pemerintahan di daerah tersebut.
Yang belum jelas adalah mengapa prasasti mengenai pengembalian pemerintahan
kepada Raja Sunda itu terdapat di sana? Apakah daerah itu merupakan pusat
Kerajaan Sunda atau hanya sebuah tempat penting yang termasuk kawasan Kerajaan
Sunda?
Baik sumber-sumber prasasti maupun
sumber-sumber Cirebon memberikan keterangan bahwa Purnawarman berhasil
menundukkan musuh-musuhnya. Prasasti Munjul di Pandeglang menunjukkan bahwa
wilayah kekuasaannya mencakup pula pantai Selat Sunda. Pustaka Nusantara, parwa
II sarga 3 (halaman 159 - 162) menyebutkan bahwa di bawah kekuasaan Purnawarman
terdapat 48 raja daerah yang membentang dari Salakanagara atau Rajatapura (di
daerah Teluk Lada Pandeglang) sampai ke Purwalingga (sekarang Purbolinggo) di
Jawa Tengah. Secara tradisional Cipamali (Kali Brebes) memang dianggap batas
kekuasaan raja-raja penguasa Jawa Barat pada masa silam.
Kehadiran Prasasti Purnawarman di Pasir
Muara, yang memberitakan Raja Sunda dalam tahun 536 M, merupakan gejala bahwa
Ibukota Sundapura telah berubah status menjadi sebuah kerajaan daerah. Hal ini
berarti, pusat pemerintahan Tarumanagara telah bergeser ke tempat lain. Contoh
serupa dapat dilihat dari kedudukaan Rajatapura atau Salakanagara (kota Perak),
yang disebut Argyre oleh Ptolemeus dalam tahun 150 M. Kota ini sampai tahun 362
menjadi pusat pemerintahan Raja-raja Dewawarman (dari Dewawarman I - VIII).
Ketika pusat pemerintahan beralih dari
Rajatapura ke Tarumangara, maka Salakanagara berubah status menjadi kerajaan
daerah. Jayasingawarman pendiri Tarumanagara adalah menantu Raja Dewawarman
VIII. Ia sendiri seorang Maharesi dari Salankayana di India yang mengungsi ke
Nusantara karena daerahnya diserang dan ditaklukkan Maharaja Samudragupta dari Kerajaan
Magada.
Suryawarman tidak hanya melanjutkan kebijakan
politik ayahnya yang memberikan kepercayaan lebih banyak kepada raja daerah
untuk mengurus pemerintahan sendiri, melainkan juga mengalihkan perhatiannya ke
daerah bagian timur. Dalam tahun 526 M, misalnya, Manikmaya, menantu
Suryawarman, mendirikan kerajaan baru di Kendan, daerah Nagreg antara Bandung
dan Limbangan, Garut. Putera tokoh Manikmaya ini tinggal bersama kakeknya di
ibukota Tarumangara dan kemudian menjadi Panglima Angkatan Perang Tarumanagara.
Perkembangan daerah timur menjadi lebih berkembang ketika cicit Manikmaya
mendirikan Kerajaan Galuh dalam tahun 612 M.
Tarumanagara sendiri hanya mengalami masa
pemerintahan 12 orang raja. Pada tahun 669, Linggawarman, raja Tarumanagara
terakhir, digantikan menantunya, Tarusbawa. Linggawarman sendiri mempunyai dua
orang puteri, yang sulung bernama Manasih menjadi istri Tarusbawa dari Sunda
dan yang kedua bernama Sobakancana menjadi isteri Dapuntahyang Sri Jayanasa
pendiri Kerajaan Sriwijaya. Secara otomatis, tahta kekuasaan Tarumanagara jatuh
kepada menantunya dari putri sulungnya, yaitu Tarusbawa.
Kekuasaan Tarumanagara berakhir dengan
beralihnya tahta kepada Tarusbawa, karena Tarusbawa pribadi lebih menginginkan
untuk kembali ke kerajaannya sendiri, yaitu Sunda yang sebelumnya berada dalam kekuasaan
Tarumanagara. Atas pengalihan kekuasaan ke Sunda ini, hanya Galuh yang tidak
sepakat dan memutuskan untuk berpisah dari Sunda yang mewarisi wilayah
Tarumanagara.
Raja-raja Tarumanagara menurut Naskah Wangsakerta
- Jayasingawarman 358-382
- Dharmayawarman 382-395
- Purnawarman 395-434
- Wisnuwarman 434-455
- Indrawarman 455-515
- Candrawarman 515-535
- Suryawarman 535-561
- Kertawarman 561-628
- Sudhawarman 628-639
- Hariwangsawarman 639-640
- Nagajayawarman 640-666
- Linggawarman 666-669
Rujukan
o
Ayatrohaedi, 2005,
Sundakala: cuplikan sejarah Sunda berdasarkan naskah-naskah "Panitia
Wangsakerta" Cirebon. Jakarta: Pustaka Jaya. ISBN 979-419-330-5
o
Saleh Danasasmita, 2003,
Nyukcruk sajarah Pakuan Pajajaran jeung Prabu Siliwangi. Bandung: Kiblat Buku Utama. ISBN
o
Yoseph Iskandar, 1997,
Sejarah Jawa Barat: yuganing rajakawasa. Bandung: Geger Sunten.
a). Jayasingawarman
Jayasingawarman adalah pendiri Kerajaan Tarumanagara
yang memerintah antara 358- 382. Ia adalah seorang maharesi dari Salankayana di India
yang mengungsi ke Nusantara karena daerahnya diserang dan ditaklukkan Maharaja Samudragupta dari Kerajaan Magada.
Ia adalah menantu Raja Dewawarman VIII
dan dipusarakan di tepi kali Gomati (Bekasi).
Pada masa kekuasaannya, pusat pemerintahan
beralih dari Rajatapura ke Tarumangara. RAJATAPURA atau SALAKANEGARA
(kota Perak), yang disebut Argyre oleh Ptolemeus dalam tahun 150,
terletak di daerah Teluk Lada, Pandeglang. Kota ini sampai tahun 362
menjadi pusat pemerintahan raja-raja Dewawarman (dari
Dewawarman I - VIII).
b). Dharmayawarman
Dharmayawarman adalah raja kedua Kerajaan Tarumanagara
yang memerintah antara 382 – 395. Ia adalah anak dari Purnawarman. Ia dipusarakan di tepi kali Candrabaga. Namanya hanya
tercantum dalam Naskah Wangsakerta.
c). Purnawarman
Purnawarman (Purnavarmman) adalah raja yang tertera pada beberapa
prasasti di abad V. Ia menjadi raja di Kerajaan Tarumanagara.
Ia mengidentifikasikan dirinya dengan Wisnu.
Di Naskah Wangsakerta,
Purnawarman adalah raja ketiga Kerajaan Tarumanagara yang memerintah antara 395
– 434.
Ia membangun ibu kota kerajaan baru dalam tahun 397
yang terletak lebih dekat ke pantai dan dinamainya "Sundapura". Nama SUNDA
mulai digunakan oleh Maharaja Purnawarman dalam tahun 397 untuk menyebut ibu
kota kerajaan yang didirikannya.
Di naskah Wangsakerta juga disebutkan bahwa
di bawah kekuasaan Purnawarman terdapat 48 raja daerah yang membentang dari Salakanagara atau Rajatapura (di daerah Teluk
Lada, Pandeglang) sampai ke Purwalingga (sekarang Purbolinggo) di Jawa Tengah. [1] Secara tradisional Cipamali (Kali Brebes) memang
dianggap batas kekuasaan raja-raja penguasa Jawa Barat pada masa silam.
Rujukan : Pustaka Nusantara, parwa II sarga 3 (halaman 159 - 162)
d). Linggawarman
Dalam Naskah Wangsakerta,
Linggawarman adalah raja terakhir Tarumanagara. Pada tahun 669, Linggawarman
digantikan menantunya, Tarusbawa.
Linggawarman memunyai dua orang puteri, yang
sulung bernama Manasih menjadi istri Tarusbawa dan yang kedua
bernama Sobakancana menjadi isteri Dapunta Hyang Sri
Jayanasa pendiri Kerajaan Sriwijaya.
Tarusbawa yang berasal dari Kerajaan Sunda
Sambawa menggantikan mertuanya menjadi penguasa Tarumanagara yang ke-13. Karena
pamor Tarumanagara pada zamannya sudah sangat menurun, ia ingin mengembalikan
keharuman zaman Purnawarman yang berkedudukan di purasaba (ibukota) Sundapura.
Dalam tahun 670 ia mengganti nama
Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda.
Peristiwa ini dijadikan alasan oleh Wretikandayun, cicit
Manikmaya, pendiri Kerajaan Galuh,
untuk memisahkan negaranya dari kekuasaan Tarusbawa
KERAJAAN SALAKANAGARA
Rajatapura atau Salakanagara (Kota Perak) tercantum dalam Naskah Wangsakerta
sebagai kota tertua di Pulau Jawa. Tokoh awal
yang berkuasa di sini adalah Aki Tirem. Konon, kota inilah yang disebut Argyre
oleh Ptolemeus dalam tahun 150
M, terletak di daerah Teluk Lada Pandeglang. Kota ini sampai
tahun 362 menjadi pusat pemerintahan Raja-Raja Dewawarman
(dari Dewawarman I - VIII).
Jayasingawarman pendiri Tarumanagara adalah menantu Raja Dewawarman VIII.
Ia sendiri seorang Maharesi dari Salankayana di India yang mengungsi ke
Nusantara karena daerahnya diserang dan ditaklukkan Maharaja Samudragupta dari
Kerajaan Magada.
Di kemudian hari setelah Jayasingawarman
mendirikan Tarumanagara, pusat pemerintahan beralih dari Rajatapura ke
Tarumangara. Salakanagara kemudian berubah menjadi Kerajaan Daerah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar